Sebagian tersesat bukan karena bodoh, tapi karena tak ada yang beri tahu arah. Peta tak berguna kalau sinyal hilang dan otot sudah protes. Kami pun pasrah, bukan karena putus asa, tapi karena sadar: di sini, Tuhan yang jadi navigator.
Akhirnya kami selesaikan rangkaian ibadah dengan thawaf dan sa’i. Kami adakan tasyakuran sederhana, seperti kemenangan tim yang berhasil melewati final dramatis. Semua petugas dan pembimbing, termasuk K.H. Lutfi Zawawi, dapat ucapan terima kasih tulus.
Pihak Kemenag tak membantah kekacauan yang terjadi. Mereka bicara apa adanya: sistem belum sempurna, koordinasi masih semrawut. Tapi pesan moralnya jelas—jangan jadikan haji tempat berdebat, karena ini ladang menahan diri.
Harapan kami tak tinggi. Cukup sistem lebih rapi, logistik tak sesat, dan bus datang sesuai jadwal. Supaya ibadah haji tak berubah jadi reality show “Survivor: Tanah Suci Edition.”
Justru di tengah kekacauan, kami menemukan makna terdalam. Ketika semua fasilitas gagal, Tuhan seakan berkata: “Sekarang lihat, siapa yang kamu andalkan?” Dan di situlah, kami paham—haji bukan tentang fasilitas, tapi tentang basis iman.
Sabar bukan hanya menahan emosi, tapi juga tetap bersyukur meski ingin marah. Kami belajar bahwa bahagia bukan soal kenyang, tapi soal hati yang bisa bilang: “Ya Allah, ini sulit, tapi aku ridha.” Rasanya seperti menang pertandingan setelah tertinggal dua gol.
Haji juga soal humor di tengah absurditas. Sandal hilang, arah kabur, makanan nyasar—semua jadi bagian dari komedi spiritual. Tapi justru di situlah spiritualitas paling jujur muncul: ketika kita bisa tertawa sambil terus bertawakal.
Akhirnya kami paham, haji adalah safari jiwa. Di tempat di mana sabar, ikhlas, tawakal, dan humor duduk semeja. Dan saat semua lelah sudah lewat, kami sadar: kami tak cuma pulang ke tanah air, tapi pulang ke diri sendiri—yang lebih bersih, lebih tenang, dan lebih dekat dengan-Nya.
Abdurrahman Wahid, penulis artikel ini adalah mantan Ketua KMBY periode 2006–2008 dan pendiri Kita Santri.