Budaya  

Hegemoni Jawa: Kolonialisme dan Rasialisme terhadap Etnis Madura

Madurapers
Moh. Ridlwan, Peneliti LsPD.

Dominasi Jawa atas Madura juga terlihat dalam aspek budaya dan pendidikan. Kurikulum nasional yang sangat berorientasi pada Jawa mengabaikan keberagaman budaya di Indonesia. Bahasa Jawa diajarkan secara luas di sekolah-sekolah, bahkan di wilayah-wilayah dengan populasi Madura yang signifikan.

Sebaliknya, bahasa dan budaya Madura hanya menjadi pelengkap yang jarang mendapat tempat. Hal ini menciptakan tekanan bagi anak-anak Madura untuk beradaptasi dengan norma-norma Jawa, sekaligus menanamkan rasa inferioritas terhadap identitas budaya mereka sendiri. Orang Madura sering kali dipaksa untuk menyembunyikan identitas mereka agar diterima dalam lingkungan sosial yang didominasi oleh budaya Jawa.

Ketimpangan ini tidak hanya terjadi di tingkat simbolik, tetapi juga sangat nyata dalam kebijakan politik dan ekonomi nasional. Sentralisasi kekuasaan yang berpusat di Jakarta—sebagai representasi dominasi budaya Jawa—sering kali mengabaikan kebutuhan spesifik wilayah seperti Madura.

Banyak kebijakan pembangunan dirancang tanpa melibatkan masyarakat lokal, sehingga dampaknya sering kali bersifat eksploitatif. Misalnya, eksploitasi sumber daya alam di Madura dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan atau kesejahteraan masyarakat. Program-program pembangunan sering kali lebih menguntungkan pihak-pihak di Jawa, sementara Madura hanya menerima dampak negatifnya.

Namun, orang Madura tidak pasif menghadapi ketimpangan ini. Tradisi resistensi mereka, meskipun sering disalahpahami, merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi yang mereka alami. Misal pembengkangan yang dianggap sebagai simbol kekerasan, sebenarnya merupakan ekspresi perlawanan terhadap ketidakadilan.

Di konteks modern, resistensi ini juga terlihat dalam cara orang Madura membangun komunitas-komunitas solid di perantauan. Mereka menciptakan jaringan sosial dan ekonomi yang memungkinkan mereka bertahan meskipun menghadapi diskriminasi, seperti, warung Madura. Namun, resistensi ini sering kali tidak cukup untuk melawan struktur ketimpangan yang telah mengakar.

Relasi antara Madura dan Jawa mencerminkan bagaimana kekuasaan, budaya, dan identitas berinteraksi dalam konteks negara multietnis seperti Indonesia. Hegemoni Jawa, baik dalam aspek ekonomi, politik, maupun budaya, telah menciptakan hubungan yang sangat timpang dengan Madura.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan paradigma yang mendalam. Pemerintah harus memastikan bahwa pembangunan di Madura tidak hanya berfokus pada eksploitasi sumber daya, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal. Selain itu, penting untuk membongkar narasi yang selama ini memarjinalkan orang Madura, dan menggantinya dengan narasi yang lebih inklusif terutama di pemberitaan media massa.

Membangun hubungan yang setara antara Madura dan Jawa bukan hanya soal redistribusi sumber daya, tetapi juga tentang menciptakan ruang di mana identitas dan budaya Madura dapat dihargai setara dengan Jawa. Hanya dengan cara ini, kita dapat membongkar hierarki kolonial domestik yang telah lama mengakar, dan menciptakan Indonesia yang lebih adil dan setara bagi semua.

 

***Moh. Ridlwan, peneliti di Lembaga Studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD).