Sementara itu, di Indonesia, tradisi Tahun Baru sering kali dipadukan dengan berbagai kegiatan adat lokal, seperti dzikir akbar atau pesta rakyat. Memahami tradisi ini tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga memperluas toleransi terhadap keberagaman budaya dunia.
Namun, penting juga untuk memahami bahwa perayaan Tahun Baru tidak selalu relevan bagi semua individu. Ilmuwan budaya seperti Clifford Geertz dalam karya ilmiahnya “The Interpretation of Cultures: Selected Essays” (1973) menekankan bahwa setiap budaya memiliki makna simboliknya sendiri yang tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Oleh karena itu, penting untuk merayakan Tahun Baru dengan cara yang menghormati nilai-nilai pribadi dan kolektif.
Jadi, dapat ditafsir bahwa hikmah memahami budaya Tahun Baru Masehi terletak pada pengakuan akan nilai-nilai universal yang dibawanya, yakni: refleksi, persatuan, dan harapan. Dengan membuka diri terhadap tradisi ini, kita tidak hanya merayakan sebuah momen dalam kalender, tetapi juga menghormati perjalanan waktu dan makna yang dihayati oleh umat manusia di seluruh dunia.
Seperti yang dikatakan oleh sejarawan Arnold Toynbee dalam karya ilmiahnya yang terkenal “A Study of History” (1946), “Peradaban bertahan bukan karena stagnasi, tetapi karena kemampuannya untuk belajar, beradaptasi, dan menghormati nilai-nilai lintas budaya.” Mari jadikan Tahun Baru 2025 sebagai momentum untuk tumbuh, belajar, dan merayakan keberagaman yang memperkaya kita semua.
Mohammad Fauzi adalah peneliti di Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) (Dok. Madurapers, 2024).
