
Hukum, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 18, telah berbicara tegas. Namun, norma hukum tampak rapuh saat berhadapan dengan arus pragmatisme yang mengabaikan denyut keadilan.
Di ranah etika, praktik dugaan penjualan LKS mencerminkan retaknya nilai moral dalam tubuh institusi pendidikan tersebut. Guru, sebagai penuntun jiwa, kini terombang-ambing di antara panggilan nurani dan godaan materialisme.
Pendidikan, yang seharusnya ruang terbuka bagi semua, perlahan menjadi taman tertutup bagi mereka yang mampu. Pemaksaan pembelian LKS memperlebar jurang kesenjangan sosial, mereduksi semangat keadilan.
Logika pasar merangsek masuk, menggeser pendidikan dari proses humanisasi menuju komodifikasi. Makna kemanusiaan perlahan terkikis, sementara pendidikan kehilangan daya pembebasan dari kebodohan yang seharusnya ia bawa.
Krisis teleologis pun muncul di tengah absurditas ini. Pendidikan, yang seharusnya membentuk karakter dan pemikiran kritis, tergantikan oleh nafsu keuntungan sesaat yang mengeringkan ruh kreativitas.
Kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tersebut perlahan bisa runtuh. Masyarakat potensial mulai meragukan ketulusan pendidik, yang mestinya hadir sebagai penjaga bara pengetahuan dan peradaban.
Regulasi tambahan seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 seharusnya menjadi tembok kokoh. Namun, lemahnya implementasi hukum menunjukkan jurang antara pengetahuan dan kehendak.
Dalih kesepakatan paguyuban dan wali murid hanyalah topeng rasionalisasi. Di balik topeng itu, persoalan filosofis tentang kebebasan dan tanggung jawab menganga, menuntut jawaban.
Mengurai masalah ini memerlukan kesadaran bahwa pendidikan adalah proses eksistensial. Ia menuntut komitmen moral, keberanian hukum, dan pemahaman filosofis yang tak dapat ditawar.
Pada akhirnya, pendidikan adalah jalan pembebasan yang melahirkan manusia merdeka dan berpikir kritis. Menjaga kesuciannya dari cengkeraman pasar adalah tanggung jawab bersama, ditopang kesadaran filosofis dan integritas moral yang teguh.
