Jakarta – Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 bertentangan dengan putusan MK sebelumnya terkait keserentakan pemilu. Dalam keterangannya yang dikutip dari Parlementaria, ia menyebut putusan baru itu mengaburkan arah sistem pemilu nasional, Selasa (01/07/2025).
Rifqi membandingkan putusan baru MK dengan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberi ruang kepada pembentuk undang-undang untuk memilih model keserentakan. “Putusan MK kali ini terasa kontradiktif jika dibandingkan dengan putusan sebelumnya, terutama Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari enam model keserentakan pemilu. Tapi sekarang, MK justru menetapkan sendiri satu model, yaitu pemilu pusat dan pemilu lokal yang dipisahkan,” tegasnya.
Menurut Rifqi, MK seharusnya hanya menguji konstitusionalitas norma, bukan menciptakan norma baru. Ia juga mengingatkan bahwa model keserentakan sudah diterapkan dalam Pemilu 2024 dengan tetap mematuhi sistem demokrasi.
Ia menilai putusan MK menghilangkan prinsip open legal policy yang seharusnya menjadi wewenang DPR dan pemerintah. “Pemilu 2029 masih jauh dan revisi UU Pemilu belum dilakukan. Tapi MK justru menetapkan model pemilu nasional dan lokal dengan jeda waktu dua hingga dua setengah tahun. Ini bukan lagi open legal policy yang diberikan kepada DPR dan pemerintah,” ujarnya.
Rifqi juga menyoroti pentingnya memahami kembali landasan konstitusional dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Ia menekankan bahwa frasa “dipilih secara demokratis” tidak secara eksplisit merujuk pada pemilihan umum.
“Kami ingin tahu kenapa pembentuk UUD memilih istilah ‘dipilih secara demokratis’ ketimbang ‘melalui pemilu’. Lalu, dalam putusan terbarunya MK justru menilai bahwa Pilkada harus dilakukan langsung dan disandingkan dengan pemilihan anggota DPRD. Ini menimbulkan pertanyaan konstitusional yang tidak sederhana,” jelas Rifqi.
Ia mengingatkan adanya risiko pelanggaran konstitusi jika Pilkada dilakukan pada 2031, dua tahun lebih lambat dari Pemilu Nasional 2029. Menurutnya, hal itu berpotensi memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan DPRD secara inkonstitusional.
“Jika pemilu lokal dilaksanakan pada 2031, maka muncul pertanyaan besar: apa dasar hukum memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan DPRD? Padahal konstitusi menyatakan pemilu dilakukan lima tahun sekali,” pungkasnya.
Komisi II DPR RI akan mengkaji lebih lanjut dampak putusan MK tersebut sebelum mengambil sikap resmi. Namun, Rifqi menegaskan bahwa prinsip partisipasi bermakna dan kepatuhan pada konstitusi akan menjadi landasan utama.