“Kami ingin tahu kenapa pembentuk UUD memilih istilah ‘dipilih secara demokratis’ ketimbang ‘melalui pemilu’. Lalu, dalam putusan terbarunya MK justru menilai bahwa Pilkada harus dilakukan langsung dan disandingkan dengan pemilihan anggota DPRD. Ini menimbulkan pertanyaan konstitusional yang tidak sederhana,” jelas Rifqi.
Ia mengingatkan adanya risiko pelanggaran konstitusi jika Pilkada dilakukan pada 2031, dua tahun lebih lambat dari Pemilu Nasional 2029. Menurutnya, hal itu berpotensi memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan DPRD secara inkonstitusional.
“Jika pemilu lokal dilaksanakan pada 2031, maka muncul pertanyaan besar: apa dasar hukum memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan DPRD? Padahal konstitusi menyatakan pemilu dilakukan lima tahun sekali,” pungkasnya.
Komisi II DPR RI akan mengkaji lebih lanjut dampak putusan MK tersebut sebelum mengambil sikap resmi. Namun, Rifqi menegaskan bahwa prinsip partisipasi bermakna dan kepatuhan pada konstitusi akan menjadi landasan utama.