Opini  

Literasi sebagai Alutsista Generasi Muda Milenial

Abdul Mukhlis
Abdul Gofar
Abdul Gofar, Mahasiswa Universitas Respati Indonesia Yogyakarta (UNRIYO) (Dok. Madura Pers)

Untuk melihat lebih jelas  dan ciamik hubungan dan ulasan antara  literasi, bahasa dan budaya. saya ingin menambahkan dengan beberapa gagasan yang ditulis oleh  Herbert George Wells yang diterbitkan dalam Jurnal Interchange tentang belajar (apprenticeship) literasi. Artikel ini sangat berpengaruh, termasuk di dalam pendidikan di Indonesia. Apa yang menarik dari gagasan G. Wells adalah anggapannya bahwa literasi adalah sebuah skill alias keterampilan. Dengan kata lain, keterampilan bernama literasi ini perlu dilatih dan ditekuni oleh seseorang agar dia menjadi seseorang yang literat.

Pada saat seseorang sudah menjadi literat, pada saat itulah literasi menjadi suatu watak (bahasa dan budaya) seseorang.  Literasi menjadi suatu disposition.

Hal lain yang patut diapresiasi dari gagasan G. Wells adalah taksonominya. Dia membagi literasi menjadi empat level: pertama, level performatif, yakni saat seseorang bisa mengucapkan kode-kode bahasa atau menuliskan kode-kode itu ke dalam tulisan. Singkatnya, level ini serupa dengan istilah yang kita pakai: ‘melek aksara’. Orang yang tidak memiliki skill literasi di level ini biasanya kita sebut ‘buta aksara’.

Kedua, level fungsional, yakni kemampuan seseorang untuk mengoperasikan bahasa dalam konteks tertentu. Sejauh tentang membaca dan menulis, orang yang berkemampuan literasi fungsional berarti punya kemampuan membaca koran, bisa menulis surat secara sopan, mampu mengikuti instruksi tekstual tentang–misalnya–cara menggunakan komputer, sanggup menyelesaikan formulir resmi tertentu, atau lain-lainnya.

Ketiga, level informasional, yaitu kemampuan menyerap ‘pengetahuan’ dari teks tertentu atau menyampaikan ‘pengetahuan’ itu melalui tuturan atau tulisan. Kata ‘pengetahuan’ perlu jelas di sini, sebab ia berbeda jauh dengan sekadar ‘informasi’ atau ‘opini’. Pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan berbasis disiplin ilmu tertentu. Literasi di level ini berarti kemampuan seseorang untuk mempelajari suatu ilmu pengetahuan melalui teks, entah dengan membaca ataupun dengan menulis.

Keempat, level epistemik, yakni skill literasi yang melampaui sekadar mode komunikasi, sebagaimana terlihat dalam ketiga level sebelumnya. Dengan literasi epistemik, seseorang sanggup menemukan cara-cara mengubah dirinya dan mengubah masyarakat di mana dia hidup. Singkat kata, skill literasi epistemik adalah gabungan antara mode komunikasi dan cara berpikir. Sikap yang didorong oleh skill ini adalah kreativitas, eksplorasi, dan evaluasi kritis. pada tahap ini literasi sudah menjadi semacam budaya (literat).

Dari paparan tentang empat level literasi di atas, kita jadi terseret pada satu ide menarik lain dari G. Wells. Menurutnya, kemampuan literasi seseorang perlu didorong untuk sampai pada level tertinggi, yaitu level epistemik. The fourth level representing the most adequate answer to the question, “What is literacy?”, katanya. Dengan kata lain, sebelum mencapai level literasi keempat, seseorang belum bisa dikatakan memiliki skill literasi yang hakiki.

Tapi, sayang seribu sayang,  di zaman ini masih minim yang mempromosikan literasi hingga level keempat. Sejauh ini para pengambil kebijakan di negeri kita menetapkan bahwa pembelajaran literasi di tingkat SMP sederajat diarahkan ke level ke-2, sedangkan di tingkat SMA sederajat  diarahkan ke level ke-3. Bukan hal yang tidak mungkin jika di tingkat SMA sederajat, atau bahkan di tingkat SMP sederajat, pendidik akan menemukan anak didiknya sudah punya skill literasi level ke-4. Meskipun itu hanya terjadi dalam kasus-kasus partikular semata.

Akhir Kata

Jadi, salah satu potensi yang harus dibangun habis-habisan oleh pendidikan khusunya untuk generasi muda milenial adalah keterampilan berliterasi, berbahsa dan berbudaya  orang tidak hanya bisa menggunakan salah satu dari tiga hal tersebut sebagai media untuk menunjukkan identitasnya. Akan tetapi orang dapat pula mengembangkan imajinasi dari  ketiganya sehingga memungkinkan kreatifitas ketiganya memberikan nilai lebih dari sekedar membangun identitas individu, komunitas dst. Seperti dalam bahasa, kita bisa belajar pada apa yang telah dicontohkan Joyce. Bahasa itu adalah kekuatan disebabkan kata-kata tidak saja dapat membuat orang menjadi paham, akan tetapi dapat menggerakkan, memengaruhi, menggiring, dan menghipnotis. Ada banyak cara dalam memanfaatkan kekuatan bahasa.

Joyce menggunakan neologi di dalam berbagai novelnya hingga membuat novelnya begitu imajinatif. Jacques Derrida dengan skill bahasa lay-outnya, pierre boudieu dengan kekuatan kalimatnya yang panjang. Dalam hal budaya kita juga bisa belajar pada sunan kalijaga dalam kejeniusannya menjadikan budaya sebagai alternatif dakwah yang efektif. Terakhir, tentu saja literasi, selain menjadi komponen tak terpisahkan dalam menciptakan kreatifitas berbahasa dan berbudaya, literasi menjadi alutsista generasi milenial di era internet of thing ini.