Namun sepertinya, asas-asas di atas tidak termuat di dalam Perda Nomor 2 Tahun 2019 yang super singkat tersebut (2 bab dan 3 pasal) baik dalam asas Kejelasan Tujuan, Dapat Dilaksanakan dan Kedayagunaan, karena Perda tersebut kurang jelas dalam rumusannya alias cacat secara formil karena tidak sesuai dengan ketentuan batang tubuh perundang-undangan yang ditentukan. Sebagaimana diketahui bahwa Perda itu hanya mengatur ketentuan umum yang sifatnya abstrak dan sangat umum, kemudian langsung ditutup begitu saja.
Harusnya, menurut Lampiran II UU 12/2011 huruf c Nomor 62, batang tubuh peraturan perundang-undangan dikelompokkan ke dalam, a) Ketentuan Umum, b) Materi Pokok yang Diatur, c) Ketentuan Pidana (bila diperlukan), d) Ketentuan Peralihan (bila diperlukan), dan e) Penutup. Bila yang dimaksud materi pokok dalam Perda tersebut adalah Pasal 2 yang berbunyi, “Dengan Peraturan Daerah ini, ditetapkan Kabupaten Bangkalan sebagai Kota Dzikir dan Sholawat.”, maka tujuan dari Perda tersebut tiada lain hanya tagline nama “Kota Dzikir dan Sholawat”. Namun yang menjadi pertanyaan, selanjutnya bagaimana bila yang diatur hanya sebuah nama dan apa manfaatnya kepada masyarakat serta apa yang dapat diterapkan?
Kalau yang dikehendaki hanyalah sebuah legitimasi terhadap Bangkalan sebagai Kota Dzikir dan Sholawat, mungkin lebih efektif memakai keputusan Bupati. Maksud efektif bisa dilihat dari anggaran, bahwa pembentukan suatu Perda membutuhkan anggaran yang lumayan banyak. Mulai dari perencanaan hingga pengundangan tentunya memakan anggaran yang tidak sedikit, contohnya seperti penyusunan naskah akademik yang harus melalui serangkaian riset, kajian hukum atau penelitian lainnya.
Perda yang Afirmatif
Sisi lain dari Perda Kota Dzikir dan Sholawat di atas yang perlu mendapat perhatian ialah tidak afirmatif terhadap kondisi sosiologis masyarakat Bangkalan karena tidak mengatur aturan pokok yang dapat ditindaklanjuti dan tidak juga sebagai tanggapan terhadap masalah yang mendesak yang perlu dibuatkan peraturan.
Idealnya paling tidak Perda tersebut seharusnya mempertegas kekayaan adat istiadat masyarakat Bangkalan yang diyakini secara turun temurun, misalnya nilai-nilai kesantrian diatur menjadi norma dalam berperilaku sehari-hari, atau bisa juga mengatur kerukunan antar masyarakat dengan santri, pesantren dengan pesantren yang lainnya supaya tidak terjadi kesenjangan akibat perbedaan pandangan dan lain semacamnya.
Selain itu bisa juga mengatur objek pariwisata yang ada untuk dikelola sesuai dengan konsep wisata religi. Supaya nantinya, objek wisata yang ada di Bangkalan mendapatkan perhatian yang serius dan dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah Bangkalan, selain untuk mendongkrak pendapatan, juga sebagai pembeda antara Bangkalan sebagai Kota Dzikir dan Sholawat dengan daerah-daerah lain. Hal itu lebih konkrit untuk diatur dan dilindungi sebagai aset kekayaan kabupaten Bangkalan. Sehingga Perda tersebut tidak hanya menjangkau klub-klub dzikir dan sholawatan tertentu (silahkan baca konsideran Perda tersebut huruf c).