Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto (1966-1998), sistem Pilkada tetap bersifat sentralistis. Kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang sangat dipengaruhi oleh Golkar, partai yang dominan pada masa itu. Proses ini sering kali dianggap sebagai formalitas belaka karena hasil akhirnya cenderung sudah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Dalam praktiknya, ungkap Fauzi, Golkar dan militer memiliki pengaruh besar dalam menentukan calon kepala daerah. Akibatnya, proses ini dinilai minim transparansi dan hanya sedikit memberikan ruang bagi aspirasi rakyat. Kritik terhadap sistem ini terus meningkat seiring dengan tuntutan reformasi politik pada akhir era Orde Baru.
Reformasi (1998-sekarang), papar Fauzi, membawa perubahan besar dalam sistem pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2005, Indonesia mulai menerapkan pilkada langsung, di mana rakyat dapat memilih kepala daerahnya secara langsung. Perubahan ini dianggap sebagai tonggak penting dalam demokrasi lokal di Indonesia.
Pilkada langsung memberikan rakyat kesempatan untuk terlibat aktif dalam menentukan pemimpin daerah. Sistem ini juga mendorong transparansi dan akuntabilitas calon kepala daerah. Namun, di sisi lain, tantangan seperti politik uang, kampanye negatif, dan konflik pasca-pilkada masih sering terjadi.
Meski ada tantangan, jelas Fauzi, pilkada langsung tetap menjadi simbol keberhasilan reformasi politik di Indonesia. Sistem ini terus disempurnakan untuk memastikan pelaksanaan demokrasi yang lebih baik di tingkat lokal. Dengan begitu, rakyat dapat menikmati hak politik yang lebih luas dalam memilih pemimpinnya.
Sejarah perubahan model Pilkada di Indonesia, kata Fauzi, menunjukkan bagaimana demokrasi berkembang dari masa ke masa. Dari sistem yang sentralistis hingga pilkada langsung, semuanya mencerminkan perjalanan panjang bangsa menuju demokrasi yang lebih inklusif.
