“Dalam konteks ini modelnya masuk pada kategori topengan sama tempilan,” kata Zamrud.
Topengan, yaitu pengajuan kredit dengan menggunakan nama orang lain, dan seluruh uangnya dikuasai oleh orang lain yang bukan debitur.
Tempilan, yaitu pengajuan kredit yang uangnya digunakan sebagian oleh debitur dan sebagian lagi digunakan oleh orang lain.
“Metode ini sudah umum terjadi di perbankan. Jelas, KCP BNI 46 Sumenep sudah mengabaikan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/28/DPNP anti Fraud,” kata Zamrud menegaskan.
Secara hukum, Zamrud menyatakan bahwa ancaman pidana dalam kasus ini dapat dijerat dengan undang-undang korupsi dan TPPU.
“Hanya kalau untuk yang TPPU ini agak susah, tapi kalau ke tindak pidana korupsi sangat bisa. Jadi, pintu masuknya penegak hukum ya dari 2 orang yang diberhentikan itu,” tutur Zamrud.
Ia juga menuding bahwa saat ini KCP BNI 46 Sumenep terus mencoba menghilangkan peristiwa-peristiwa yang mencoreng nama baiknya.
“BNI Sumenep ini mencoba untuk mengaburkan suasana, bahwa seolah-olah tidak pernah terjadi kasus seperti ini. Sebab itu, penegak hukum perlu memiliki metode bagaimana mengungkap sebuah kerugian tindak pidana korupsi di perbankan,” pungkasnya.