Dalam konteks subtansial, CSR yang ada saat ini lebih menyerupai praktek kapitalisme (berorientasi pada kepentingan bisnis, red.). Perusahaan menjadikan CSR sebagai strategi pemasaran, bukan bentuk tanggung jawab sosial yang murni.
Musawwir mengkritik lemahnya regulasi dalam menindak perusahaan yang tidak melaksanakan CSR. Tanpa sanksi tegas, perusahaan akan terus menghindari kewajiban sosialnya.
Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan harus tegas dalam memastikan transparansi pelaksanaan CSR. Hal ini karena masih banyak perusahaan tidak melaporkan penggunaan dana CSR secara rinci.
Selain itu, kata dia, masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam perencanaan CSR, tetapi mekanisme partisipasi masih lemah. Perusahaan lebih sering menentukan program sendiri tanpa konsultasi dengan warga.
Musawwir menekankan bahwa CSR bukan sekadar proyek jangka pendek untuk pencitraan. CSR harus menjadi bagian integral dari strategi perusahaan dalam membangun keadilan sosial.
Jika CSR hanya menjadi simbol, maka ketimpangan sosial akan semakin melebar. Perusahaan yang mengabaikan kewajiban sosialnya justru memperdalam jurang ketidakadilan.
CSR yang ideal harus berlandaskan prinsip etis dan tidak bersifat eksploitatif. Perusahaan tidak boleh menjadikan CSR sebagai sarana untuk mendistorsi realitas sosial di Bangkalan.
“Regulasi harus ditegakkan secara ketat agar CSR benar-benar berdampak nyata. Tanpa pengawasan ketat, CSR hanya akan menjadi dagelan bisnis perusahaan yang terus direproduksi”, pungkasnya.
