Syekh Fariduddun Al-Atthar menyebutkan kisah unik antara sang maestro sufi, Imam Hasan al-Bashri dengan Rabi’ah al-Adawiyah dalam kitab Tadzkiratul Auliya’ . Suatu saat Rabi’ah al-Adawiyah terhenti saat lewat depan rumahnya Hasan al-Bashri lantaran tetesan air yang mengenainya. Awalnya air tersebut adalah air hujan, namun saat menoleh keatas ternyata air tersebut berasal dari air matanya Hasan al-Bashri. Rabi’ah berkata, “Wahai Syaikh, tahanlah air mata itu dalam dirimu sehingga menjadi lautan. Engkau tidak akan menemukan jati dirimu kecuali mencarinya kepada sang Raja yang maha perkasa”.
Hasan al-Bashri hanya diam tanpa jawaban. Air mata yang mengalir karena renungan mendalam padanya yang tak mampu dia bendung. Spontan, Hasan al-Bashri mengambil sajadah dan meletakkannya terapung diatas air. Beliau berkata, “Kemarilah Rabi’ah, kita salat dua rakaat”.
Rabi’ah al-Adawiyah yang juga seorang sufi dengan ajaran mahabbahnya meresponnya dengan menampakkan karamah. Beliau membuka sajadahnya dan menerbangkan di udara sembari berkata, “Kemarilah wahai Syaikh, Kita salat diatas udara saja biar orang-orang melihat karamah kita”. Tanpa jawaban lagi, Hasan al-Bashri hanya termenung dan tertegun merasa ada yang perlu diperbaiki dalam laku sufinya.
Rabi’ah melanjutkan, “Wahai Syaikh, apa yang engkau lakukan itu bisa dilakukan oleh ikan, dan yang saya lakukan bisa dilakukan oleh lalat. Fokus kita sebenarnya ialah bersungguh-sungguh dalam amalan kita”.
Akhiron, karamah memang suatu kelebihan yang Allah anugerahkan pada hamba-hamba pilihannya yang tidak semua orang mendapatkannya. Karamah harus diletakan dalam koridornya sebagai salah satu anugerah tanpa mengesampingkan anugerah lain yaitu ilmu yang sebenarnya lebih penting untuk diurai. Kenapa? Karena eksistensi agama Islam dikawal oleh ilmul ulama’, bukan karamatul auliya’.
***Hozinul Asror, Santri Pondok Pesantren Miftahul Ulum Panyeppen Palengaan Pamekasan, Sarjana Ekonomi di IAI-MU Pamekasan.
