Ia juga menyoroti defisit anggaran yang melebar, penerimaan pajak yang seret, serta pengelolaan APBN yang tidak transparan. Jika kondisi ini terus berlanjut, ia memperingatkan bahwa kepercayaan investor akan semakin merosot.
“Pemerintah harus menunjukkan bahwa mereka ramah terhadap pasar, tidak membuat kebijakan secara mendadak, dan lebih transparan dalam mengambil keputusan,” jelasnya.
Selain itu, ia menyoroti bahwa utang pemerintah yang terus dikritik publik kerap mendapat reaksi defensif dari pemerintah. Hal ini semakin memperjelas bahwa pengelolaan APBN tidak dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.
“Ketidakpercayaan terhadap APBN juga menjadi penyebab ketidakpercayaan pasar terhadap kebijakan pemerintah,” tambahnya.
Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, ia memperingatkan bahwa investor akan menunda investasi di Indonesia. “Investor, baik asing maupun domestik, akan bersifat menunggu dan tidak akan investasi dulu. Modal yang ada bisa keluar dan menggerus likuiditas, yang pada gilirannya akan menekan nilai tukar rupiah,” katanya.
Sektor riil juga diprediksi akan terkena dampaknya. Menurutnya, industri yang mengandalkan pendanaan dari pasar modal akan mengalami keterbatasan akses dana, yang bisa berdampak pada program hilirisasi.
“Emiten yang berencana menggalang dana melalui pasar modal kemungkinan menunda aksi korporasi karena valuasi yang melemah,” ungkapnya.
Prof. Didik menutup dengan pesan tegas bahwa pemerintah harus segera melakukan perbaikan. “Lupakan dulu mimpi pertumbuhan ekonomi 8 persen. Pemerintah perlu bergandengan dan berbaik kebijakan dengan pasar,” pungkasnya.
