Prof. Quraish menjelaskan, bahwa susunan kata ini mengandung 2 (dua) kemungkinan makna, yaitu meninggalkan sesuatu dan memintanya.
Sehingga dapat dipahami, bahwa apabila seseorang telah memaafkan kesalahan orang lain, berarti Ia benar-benar meninggalkan (menghapus atau melupakan) kesalahan orang tersebut.
Ketiga, surah as-Syura ayat 37, firman-Nya: “(Kenikmatan itu juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberi maaf.”
Masih menurut pendapat dari ulama kenamaan, yaitu Syekh Wahbah al-Zuhaily, Ia menjelaskan ayat di atas mengisyaratkan tentang kemuliaan Nabi Muhammad s.a.w., yang memaafkan pasukan pemanah yang tidak melanggar instruksi beliau saat Perang Uhud.
Tidak hanya itu, Nabi Muhammad juga memaafkan perbuatan orang-orang kafir yang menjadi penyebab kematian pamannya, Hamzah bin Abd al-Mutallib dalam peperangan tersebut.
Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat, beliau menjelaskan, apabila seseorang yang ingin ditinggikan derajatnya oleh Allah S.W.T., maka cara yang dilakukan adalah hendaklah ia memaafkan kesalahan orang yang berbuat aniaya terhadapnya.
Kemuliaan tersebut dapat diraih dengan tetap menyambung silaturrahim kepada mereka yang memutuskan hubungan dengannya.
Tentu sikap ini sangat sulit untuk dilakukan, namun bukan berarti mustahil dikerjakan oleh seseorang.
Demikianlah perintah memaafkan orang lain dalam Al-Qur’an. Dalam menyambut hari raya, sudah seharusnya dijadikan momentum meredam ego diri untuk bisa memaafkan orang lain.
Kendati bukan perkara yang mudah, akan tetapi dengan memaafkan kesalahan orang lain yang tulus dari dalam hati akan membawa ketenangan dalam hidup.
Apabila dirasa sangat sulit untuk memaafkan orang lain, hendaknya meminta ampunan kepada Allah S.W.T., untuk dibukakan pintu hati agar mudah memaafkan sebagaimana perintah ini diabadikan oleh Al-Qur’an. Wallahu’alam.