Opini  

Peta Manipulasi Pemilu: Mengungkap Taktik di Berbagai Jenis Rezim Demokrasi

Madurapers
Wahyudi adalah pemerhati bahasa politik dan peneliti di Tri Dharma Cendekia
Wahyudi adalah pemerhati bahasa politik dan peneliti di Tri Dharma Cendekia (Dok. Madurapers, 2024).

Pemilihan umum (pemilu) merupakan basis utama bagi sistem demokrasi sebuah negara. Sayangnya, manipulasi pemilu adalah ancaman yang dapat merusak integritas proses demokratis itu sendiri. Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi, risiko manipulasi pemilu semakin meningkat.

Manipulasi kerap terjadi dalam pemilu di negara-negara demokrasi yang masih muda, termasuk negara Indonesia. Manipulasi pemilu menjadi fenomena kompleks yang melibatkan berbagai faktor, bergantung pada jenis rezim demokrasi yang ada.

Manipulasi pemilu dapat mencakup berbagai tindakan atau upaya, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Beberapa contoh tindakan manipulatif dalam pemilu melibatkan penyelenggara, peserta, atau pihak yang berkepentingan.

Manipulasi pemilu seringkali melibatkan kombinasi dari beberapa tindakan yang dapat merugikan prinsip-prinsip demokratis dalam penyelenggaraan pemilu. Penting bagi masyarakat dan pihak berwenang untuk memonitor dan menanggapi tindakan manipulatif ini guna memastikan bahwa pemilihan berlangsung secara adil dan demokratis.

Praktik-praktiknya, berupa: pertama, pelanggaran hukum, seperti: (1) pencoblosan suara yang tidak sesuai aturan, dan (2) pemalsuan hasil pemungutan suara atau rekapitulasi data. Kedua, intimidasi dan kekerasan, seperti: (1) mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap pemilih atau kandidat lawan, dan (2) memanfaatkan kekuatan fisik atau ancaman untuk mempengaruhi hasil pemilihan.

Ketiga, penipuan dan penyalahgunaan informasi, seperti: (1) menyebarluaskan informasi palsu atau menyesatkan untuk mempengaruhi persepsi pemilih, dan (2) memanipulasi data atau fakta untuk merubah persepsi hasil pemilu. Keempat, penggunaan sumber daya dan struktur, seperti: (1) memanfaatkan kekuatan ekonomi atau sumber daya yang dimiliki untuk memenangkan pemilu, dan (2) memanfaatkan struktur kelembagaan atau media untuk kepentingan politik tertentu.

Kelima, pembatasan akses dan diskriminasi, seperti: (1) membatasi akses ke fasilitas pemilihan bagi kelompok tertentu, dan (2) diskriminasi terhadap pemilih atau kandidat berdasarkan faktor tertentu seperti ras, agama, atau gender. Keenam, manipulasi sistem pemilu, seperti: (1) mengubah aturan pemilihan atau batasan kandidat secara tidak adil, dan (2) memanipulasi pembagian daerah pemilihan untuk keuntungan politik tertentu.

Banyak ilmuan politik dan kepemiluan berupaya untuk menggambarkan berbagai tindakan manipulasi pemilu. Deskripsinya tentang hal itu memberikan kita peta yang menarik tentang taktik dan motif di berbagai konteks politik.

Ada beberapa deskripsi ilmiah tentang manipulasi pemilu dalam kaia empirik ilmuan politik dan kepemiluan. Pertama, Schedler (2002) menghubungkan manipulasi pemilu dengan negara demokrasi baru yang muncul. Rezim otoritarian menggunakan pemilu sebagai alat untuk mempertahankan legitimasi mereka dengan cara menyelenggarakan pemilihan secara berkala.

Kedua, Ziblatt (2009) menyoroti kaitan antara manipulasi pemilu, kelas masyarakat, dan kepemilikan modal. Manipulasi pemilu di rezim hybrid dan otoritarian sering dilakukan secara terstruktur dan sistematis, memanfaatkan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial.

Ketiga, Kovalov, Alston, dan Gallo (2009) menjelaskan bagaimana manipulasi pemilu terjadi dengan memanfaatkan celah peraturan dan lemahnya penegakan hukum. Ini menciptakan lingkungan di mana tindakan manipulatif dapat dilakukan tanpa hambatan yang signifikan.