Karena itu, ia menjelaskan, kalau misalnya kedua data yang berasal dua institusi itu sama-sama memiliki kebenaran maka perlu dibangun komunikasi yang lebih baik.
Sebab, tegasnya, beras ini masalah krusial yang harus ditangani, apalagi sekarang ini di tengah-tengah isu global krisis pangan.
“Isu ini harus kita tangani dengan baik. Kalau datanya salah, penyikapannya juga salah, nanti intevensinya salah, jangan-jangan nanti kita kekurangan pangan,” khawatirnya.
Menanggapi itu, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi menerangkan acuan data yang digunakan institusinya adalah data yang berasal dari BPS.
Sebab, menurutnya, hal itu sebagaimana amanat dari undang-undang. Ia berharap tiap pihak tidak salah dalam menafsirkan data yang disajikan dari BPS tersebut.
Ia berharap dengan penjelasan ini tidak salah membaca data. Kementan gunakan satu data, yakni dari BPS. Meski Kementan juga melakukan pemantauan, tapi yang digunakan adalah data BPS.
Ia menerangkan perbedaan pengertian mengenai surplus-defisit dengan stok. Kalau surplus-defisit adalah selisih produksi dikurangi konsumsi.
Karena itu, menurutnya, jangan dicampur soal surplus-defisit itu dengan stok. Stok itu barang statis, kalau surplus-defisit ini bersifat dinamis.
Stok itu ada di mana-mana, ada di Bulog, rumah tangga, di penggilingan, dana sebagainya butuh survei dari BPS juga. Surplus defisit beda, stok juga beda.