Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) semestinya menjadi instrumen utama untuk pembangunan dan pemenuhan hak dasar warga. Namun di banyak daerah, termasuk Kabupaten Bangkalan, struktur belanja justru mencerminkan arah berbeda.
Data dari Madurapers (16/04/2024) menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2025, belanja pegawai di Bangkalan menelan lebih dari 40 persen total APBD—sekitar Rp1,81 triliun dari Rp2,66 triliun. Ketimpangan ini bukan semata persoalan teknis anggaran, tetapi mencerminkan politik anggaran yang lebih berpihak pada elite birokrasi ketimbang kepentingan publik.
Loyalitas Birokrasi dan Kuasa Politik
Dominasi belanja pegawai erat kaitannya dengan upaya elite lokal mempertahankan kekuasaan. Alokasi anggaran besar untuk pegawai memungkinkan kepala daerah memastikan dukungan birokrasi terhadap agenda politik mereka, terutama menjelang tahun-tahun elektoral.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana APBD kerap dijadikan alat politik. Data Kementerian Keuangan (DJPK, 2023) menunjukkan bahwa daerah dengan porsi belanja pegawai tinggi cenderung mengabaikan belanja publik produktif. Celah ini membuka ruang patronase, di mana jabatan dan proyek birokrasi dijadikan komoditas untuk mempertahankan loyalitas politik.
Banyak program dan pengadaan dalam APBD tidak berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, melainkan pada aktivitas birokratis yang menguntungkan elite. Alhasil, anggaran yang seharusnya memperluas layanan publik, malah terserap untuk mempertahankan sirkulasi kekuasaan yang elitis.
Kinerja Semu dan Citra Palsu
Besarnya belanja aparatur juga membuka ruang bagi pencitraan administratif. Melalui laporan yang diformat rapi, agenda seremonial, dan publikasi kegiatan, pemerintah daerah tampak seolah berhasil—padahal manfaatnya minim bagi warga.