I. MERAWAT KATA-KATA
“Bukan usia atau tulisan yang paling akhir mencintai kata-kata”
Suara itu, kembali melepas nafas busuk zaman
Yang keluar-masuk tahun demi tahun
Nafas yang memburu semut-semut di balik bukit manusia
Nanar mata di dalam cermin
Dan seekor gajah angkuhnya muncul serupa lazuardi
Usia pikiran yang terbentang di papan-papan tulis
Dan buku catatan mengenal baik usia bulir-bulir padi
Kian menguning, runduk takzim menatap tanah
Arah paling bijaksana
Menatap reretak perasaan yang bias dan lemah
Aku ijinkan siapapun menjaga kata-kata
Menjaga hijaunya hati manusia,
Padang paling lapang di antara jeram dan curam mulut menganga
Aku ijinkan siapapun mencintainya
Sebab tidak perlu hitungan usia dan warna untuk melebur
Ke dalam rahimnya
Bangkalan, 2021
II. HIKAYAT PECINTA
Alkisah,
Setelah menyelesaikan pengembaraannya
Pecinta itu pulang ke rumahnya
Tempat segalanya bermula
Senja tenggelam ke peraduannya
Dalam tubuhnya yang dibalut kecamuk malam
Pecinta berkata di bawah cahaya rembulan:
“Aku tidak memaksa siapapun untuk menetap di hatiku
Cukup tahu, cinta adalah rahasia”
Bangkalan, 2021
III. HUJAN DI MALAM MINGGU
Ia rebah di kamar
Ingatannya kembali ke sebuah taman;
Jalan yang basah untuk dikenang
Di malam minggu yang hujan itu
Ia lemparkan setangkai bunga
Kepada lelaki yang pergi dibalik malam
Ia tercenung
Bulan diabaikan
Taman menjadi lengang
“Hujan seperti apa yang kau inginkan?”
Katanya kepada lelaki dengan hati lebam biru
Bangkalan, 2021
IV. ANAK HUTAN
Aku peras anggur ke dalam gelasmu yang mungil
Agar lahir mata air mengelilingi hutan
Dengan perahu aku jelajahi revolusi yang tenggelam
Ke dalam ingatan imperialisme kemarin petang
Aku berenang ke dalam ingatan
Menyibak riak-riak waktu
Dari hilir ke hulu
Dari mata air senjaku, cuaca berkicau di kepala
Hingga magrib bertengger di ubun-ubun anak-anak
Aku menyusuri gundukan-gundukan sepi
Mencari muasal sumber air mata ibu pertiwi
Tempat tumbuh pohon-pohon di bumi
Puisinya bagus banget
Sang pencetus Apel Merah