Pramuka, ungkap Syaiful Huda, bukan hanya tentang kegiatan fisik semata, tetapi juga tentang pembentukan karakter, kemandirian, dan kebersamaan. Ini penting terutama untuk pelajar di daerah terpencil yang mungkin tidak memiliki akses yang sama terhadap informasi dan kesempatan pengembangan diri.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Anwar Makarim telah mengeluarkan kebijakan untuk mencabut status Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.
Meskipun revisi tersebut membuat kegiatan perkemahan dalam Pramuka menjadi tidak wajib, namun satuan pendidikan tetap diperbolehkan untuk menyelenggarakannya jika dianggap perlu. Selain itu, partisipasi pelajar dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk Pramuka, kini menjadi sukarela sesuai dengan Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 menegaskan bahwa gerakan Pramuka adalah mandiri, sukarela, dan non-politis. Dalam konteks tersebut, revisi Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 lebih menekankan pada karakter sukarela dalam partisipasi pelajar dalam kegiatan Pramuka.
Penghapusan status Pramuka sebagai ekskul wajib di sekolah mengundang perdebatan di berbagai kalangan, termasuk di tingkat legislatif. Dengan adanya polemik ini, diharapkan pihak terkait dapat mencari solusi yang terbaik untuk kepentingan pembentukan karakter peserta didik di masa depan.
