Hukum  

RUU KUHAP Dikritik: Lima Masalah Besar yang Belum Terjawab

Madurapers
Ilustrasi simbolik ketimpangan hukum akibat lima masalah besar yang belum terjawab dalam RUU KUHAP
Ilustrasi simbolik ketimpangan hukum akibat lima masalah besar yang belum terjawab dalam RUU KUHAP (Dok. Madurapers, 2025).

Ketimpangan semakin jelas dalam persidangan. Jaksa dapat menghadirkan saksi tambahan untuk menyanggah pembelaan terdakwa, tetapi advokat tidak memiliki hak serupa. Pembatasan ini bertentangan dengan prinsip adversarial dalam sistem peradilan yang menuntut keseimbangan antara pihak yang berperkara.

 

4. Syarat Penahanan Semakin Karet

RUU KUHAP menambah jumlah alasan seseorang dapat ditahan dari tiga menjadi sembilan. Namun, beberapa alasan bersifat subjektif, seperti “menghambat proses pemeriksaan” dan “memberikan informasi tidak sesuai fakta”.

Ketidakjelasan definisi ini membuka peluang penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik. Bahkan, tersangka yang meminta didampingi pengacara bisa dianggap menghambat pemeriksaan. Tanpa indikator objektif, penahanan bisa dilakukan secara sewenang-wenang.

 

5. Restorative Justice Disalahpahami

Konsep restorative justice (RJ) dalam RUU KUHAP dinilai salah kaprah. Alih-alih berfokus pada pemulihan korban, RUU ini justru menyamakan RJ dengan penghentian perkara di luar persidangan.

Lebih parah lagi, keputusan penghentian perkara dalam RUU ini diberikan kepada penyidik kepolisian tanpa pengawasan lembaga lain. Situasi ini rentan disalahgunakan untuk melakukan pemerasan atau mengintimidasi korban agar mau berdamai.

 

Desakan Perbaikan Substansi RUU KUHAP

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk melakukan perbaikan substansial dalam revisi KUHAP. RUU ini seharusnya tidak hanya memperbarui aturan, tetapi juga memastikan perlindungan terhadap hak-hak tersangka, advokat, dan kelompok rentan.

Jika dibiarkan dalam bentuk saat ini, RUU KUHAP justru berpotensi memperburuk praktik penyiksaan, pelemahan hak bantuan hukum, serta penyalahgunaan wewenang dalam proses penahanan. Pemerintah dan DPR perlu memastikan bahwa hukum acara pidana yang baru benar-benar berlandaskan prinsip due process of law dan perlindungan hak asasi manusia.