“Kami tidak punya kewenangan untuk menghentikan atau menyetujui survei seismik 3D. Hanya memfasilitasi,” katanya.
Respons KEI tak kalah kontroversial. Dalam pernyataan tertulis yang dikirim ke sejumlah redaksi, manajemen perusahaan justru menyebut pemberitaan media sebagai bentuk provokasi dan penyebaran fitnah terhadap aktivitas mereka.
“Publikasi belakangan ini tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” tulis pernyataan resmi KEI.
Perusahaan menegaskan bahwa KEI adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang bekerja di bawah pengawasan SKK Migas dan Kementerian ESDM, dengan seluruh kegiatan berlandaskan hukum yang sah.
KEI mengklaim telah mengantongi semua izin legal seperti Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dan telah menjalankan manajemen lingkungan sesuai standar ISO 14001 sejak 2001.
Mereka juga menyebut program Pengembangan Masyarakat (PPM) telah dijalankan dan melibatkan masyarakat, meskipun hal itu justru bertolak belakang dengan kenyataan yang disuarakan oleh warga dan mahasiswa.
“Kami sangat menyesalkan adanya pemberitaan tidak sesuai fakta. Jika ditemukan pelanggaran, kami siap menempuh jalur hukum,” tegas KEI.
Gelombang protes ini menunjukkan bahwa masyarakat Kangean tidak lagi percaya pada janji pembangunan yang disampaikan lewat narasi energi nasional. Yang mereka rasakan adalah laut yang kian tercemar, sumber penghidupan yang tergerus, dan pemerintah daerah yang tak lebih dari penonton.
UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas melarang aktivitas migas di pulau kecil yang berdampak ekologis dan sosial. Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023 memperkuatnya. Namun, suara hukum seperti ditelan dalam pusaran kekuasaan dan kepentingan bisnis.
“Pulau kami bukan ruang komersial, tapi ruang hidup. Kami hanya ingin hidup layak tanpa harus mengemis keadilan,” pungkas Faiq.