Dalam masa pembuangannya, Tan Malaka berkelana ke Berlin, Moskow, dan Cina. Ia sempat bertemu Sun Yat Sen dan mendirikan Partai Repoeblik Indonesia (PARI) di Bangkok pada 1927, meski partai tersebut akhirnya dibubarkan.
Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 1942 setelah Belanda kalah dari Jepang. Di Jakarta, ia menulis karya besarnya MADILOG yang menjadi tonggak pemikirannya tentang materialisme, dialektika, dan logika.
Ia bekerja di Kantor Urusan Sosial di Banten dengan nama samaran Ilyas Husein. Tan Malaka membantu para romusha dengan menyisihkan gajinya untuk membeli makanan dan membuka lahan sayur bagi mereka.
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Tan Malaka mendorong para pemuda untuk merebut kemerdekaan. Meskipun tidak terlibat langsung, ia merasa bahagia ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Tan Malaka turut hadir dalam rapat besar di Lapangan Ikada pada 19 Agustus 1945. Di masa awal kemerdekaan, ia aktif berdiskusi dengan tokoh-tokoh penting Indonesia dan Sukarno bahkan pernah menunjuknya sebagai kandidat penggantinya.
Sebagai tokoh revolusioner, Tan Malaka mendirikan Persatuan Perjuangan untuk mengkoordinasi perjuangan bersenjata. Namun, pemerintah menjadikannya tahanan politik pada 1947 untuk melancarkan perundingan dengan Belanda.
Setelah dibebaskan pada 1948, Tan Malaka mendirikan Partai Murba dan memperingatkan pemerintah akan kemungkinan serangan umum. Keyakinannya bahwa kemerdekaan harus dipertahankan dengan senjata membuatnya terus berjuang.
Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka gugur di Kediri saat melawan militer Belanda. Ia wafat sebagai pejuang yang berkontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia.