Otonomi desa dan konsep turunannya bagaikan “kata suci” bagi pemerintah dan masyarakat desa pasca diberlakukan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. “Pengakuan masyarakat hukum adat dalam konstitusi (rekognisi)”, “penetapan kewenangan dan keputusan berskala lokal untuk kepentingan masyarakat lokal (subsidiaritas)”, dan “demokrasi sistem pemerintahan desa” yang seharusnya/idealnya membuat desa-desa di Kecamatan Tanah Merah berkembang maju, namun faktanya melahirkan fenomena/fakta sosial-ekonomi dan politik sebaliknya.
Faktanya terlihat pada: (1) kondisi sosial-ekonomi, dengan ukuran tingkat pendidikan, kesehatan, dan pendapatan masyarakat yang hingga sekarang belum ada data empirik yang jelas dari pemerintah, dan (2) demokrasi/proses demokrasi yang melahirkan demokrasi simbolik, yakni demokrasi prosedural yang dipengaruhi oleh uang dan tekanan pada publik sebagai pemilih.
Kondisi ini terasa senjang dengan sarana pembangunan, potensi desa, kewenangan fiskal/keuangan dan politik, dan budaya yang dimiliki desa-desa dan kecamatan Tanah Merah. Fakta empriknya dapat dilihat pada data pemerintah daerah kabupaten Bangkalan tahun 2019.
Menurut data BPS Kabupaten Bangkalan (2020) pada tahun 2019 desa-desa dan kecamatan Tanah Merah memiliki sarana-sarana pembangunan dan potensi desa yang cukup baik. Sarana pembangunan tersebut adalah: (1) sarana energi listrik/PLN, (2) sarana mata sumber air 23 jenis sumber mata air, (3) jumlah sekolah SD-SMA dan sederajat baik negeri dan swasta sebanyak 114 sekolah. (4) sarana kesehatan sebanyak 4 unit, (5) sarana perdagangan sebanyak 918 unit, (6) sarana lembaga keuangan sebanyak 2 unit, (7) koperasi yang masih aktif sebayak 8 unit, dan (8) sarana lembaga keuangan 2 unit.
Potensi desa di Kecamatan Tanah Merah: (1) sarana telekomunikasi (menara dan operator seluler) sebanyak 103 unit, (2) kelompok olahraga, (3) transportasi umum antardesa 62 unit, (4) kondisi jalan antardesa bersapal, (5) kantor pos dan pos pembantu.
Kewenangan fiskal dan politik seperti dalam mengatur dan melaksanakan sendiri keuangan desa, membuat BUMDes, dan pemilihan kepala desa yang sudah diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 dan regulasi turunannya. Budaya kolektivitas, ekspresif, dan agamis, seperti gotong royong, terbuka, dan bersifat religius.
Mencermati problematika sosial, ekonomi, politik, dan budaya tersebut perlunya mendesain ulang rencana-rencana pembangunan. Rencana pembangunan yang dimaksud antara seperti RPJMDes, RAPBDes, rancangan pembentukan BUMDes, rancangan Perdes, rancangan Pilkades, dan program pembangunan desa serta kecamatan.
Cara pandang yang digunakan tidak hanya mengikuti cara-cara modernisasi yang ditetapkan oleh pemerintah tetapi harus dikembangkan dengan sudut pandang tradisi/adat masyarakat desa/kecamatan Tanah Merah. Cara pandang yang dimaksud adalah budaya lokal desa yang sudah menjadi kesadaran bersama. Misalnya: (1) hormat pada bapak, ibu, guru, dan pemimpin, (2) sopan-santun, (3) gotong royong, (4) saling bantu, (5) menjadi orang benar dan sebagainya.
Proses pembuatannya benar-benar melibatkan rakyat dan berbasis potensi dan kearifan masyarakat desa/kecamatan Tanah Merah. Pelaksanaannya dilakukan dengan prinsip pemerintahan yang baik dan dapat dikontrol masyarakat.
Proses re-desain rencana pembangunan model demikian dapat diharapkan kinerja pemerintah dalam pembangunan sosial-ekonomi menjadi baik. Yakni, kinerja pemerintah desa/kecamatan yang dapat meningkatkan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian warga serta menjaga kelestarian tradisi, hukum adat, dan kebahagiaan menurut masyarakat desa di kecamatan Tanah Merah.
H. Musawwir, S.H., adalah Ketua Fraksi Keadilan Hati Nurani, DPRD Kabupaten Bangkalan