Keadilan sosial (social justice) tak terperikan keelokannya. Idealitanya secara struktural mulai dibangun di dunia pada 26 November 2007, saat Majelis Umum PBB mendeklarasikan Hari Keadilan Sosial Sedunia (World Day of Social Justice) pada 20 Februari.
Namun, per kasustik kenyataan berbicara lain. Kecut untuk merasakannya, bahkan air mata dan darah sekalipun tak sanggup meraihnya. Itulah peristiwa ketidakadilan yang dialami sebagian negara di dunia.
Negara “Kawasan Selatan Dunia” yang berkembang dan tak maju industri mengalami ketergantungan, keterbelakangan, bahkan kelaparan. Kenyataan pahit yang harus diterima dari capaian pembangunan manusia (human development)-nya.
Tangis dan darah-pun tak mampu membayarnya. Kebodohan, sakit, dan kemiskinan harus diterima sebagai kenyataan hidup. Meski, mereka menyadarinya; lalu menolak dan berteriak: “tidak!”
Mereka yang “papa” tak mampu melawan angkuhnya sistem dunia. Itulah fenomena konstruksi sosial-politik yang terbangun di dunia saat ini. Meski getir, penjajahan model baru, ketergantungan, dan keterbelakangan terpaksa harus ditelan (baca: diterima) negara-negara berkembang.
Kondisi struktur sosial-ekonomi dunia menjadi timpang, sehingga menyiratkan gambaran relasi negara “Kawasan Utara-Selatan” tak elok. Kepentingan dan kekuasaan adalah biang keroknya.
Negara “Kawasan Utara Dunia”, yang tergabung dalam G7 di PBB, kondisi sosial-ekonominya baik-baik saja, sebaliknya negara “Kawasan Selatan Dunia”, yang tergabung dalam G77 di PBB, masih dipertanyakan. Itulah gambaran dramaturginya hubungan negara “Utara-Selatan”.
Negara “Kawasan Selatan Dunia” sepertinya dikonstruksi menjadi resipien pembangunan dan negara “Kawasan Utara Dunia” sebaliknya. Konstruksi sosial-politik ini memberikan jalan yang rumit, layaknya relasi “tuan-budak”.
Negara “Kawasan Utara Dunia”, sebagaimana layaknya reseptor pembangunan, memberikan resep pembangunan pada negara “Kawasan Selatan Dunia” sebagai resipien pembangunan.
Konon, tujuannya agar negara “Kawasan Selatan Dunia” keluar dari kemiskinan, mengikuti pengalaman “manis” negara “Kawasan Utara Dunia” yang makmur dan sejahtera.
Ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, dan pembangunan resep negara “Kawasan Utara Dunia” dipelajari dan dilaksanakan negara “Kawasan Selatan Dunia”. Namun, hasilnya, tetap dipertanyakan, mengapa?
Tidak ada jawaban konkret. Yang ada hanya negara G77 terus dirayu, bahkan dipaksa secara halus dan kasar untuk menteladani pengalaman negara G7, agar menjadi negara sejahtera.
Tak ada pilihan lain, selain menerimanya sebagai kenyataan. Sikap ini terpaksa diambil, terutama negara-negara G77 yang mengalami ketergantungan; ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, dan keamanan.
Lalu bagaimana dengan nasib masyarakat negara “Kawasan Selatan Dunia” yang masih terbelakang dan berkembang? Jawabannya hampir sama atau linier dalam bahasa kerennya. Itulah cara gampang menggambarkan fenomenanya.
Mengikuti cara pandang “positivisme”, jalan keluarnya: benahi dan perbaiki sistem pembangunannya mengikuti pengalaman negara “Kawasan Utara Dunia” yang sudah maju agar masyarakat negara “Kawasan Selatan Dunia” sejahtera.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.