“DPR kalau ngebet ingin punya kewenangan evaluasi tersebut harus diatur dalam undang-undang, bukan dalam Tatib. Kalau pengen ya, bukan berarti boleh,” tambah Alan Akim.
Ia juga menggarisbawahi bahwa UU MD3 tidak memberikan mandat kepada DPR untuk mengatur kewenangan tersebut. Artinya, tindakan DPR yang mencoba mengatribusi kewenangan tersebut melalui Tatib merupakan tindakan ultra vires yang bertentangan dengan undang-undang.
Selain itu, Akim menegaskan bahwa fungsi pengawasan DPR bersifat terbatas. DPR hanya memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU 17/2014.
Konsep yuridis yang ada juga tidak mengatribusikan fungsi pengawasan DPR untuk mencampuri urusan lembaga penegak hukum, kekuasaan kehakiman, dan lembaga independen. Terlebih lagi, DPR tidak memiliki hak untuk melakukan evaluasi jabatan lembaga-lembaga tersebut.
Dalam pandangan Akim, pemberian kewenangan evaluasi seperti itu justru berbahaya bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menilai hal ini dapat mengancam desain kelembagaan dan menciptakan ketidakseimbangan dalam hubungan antar lembaga negara.
“Jadi kewenangan evaluasi yang didalilkan berdasarkan fungsi pengawasan DPR adalah alasan yang sesat pikir dan bertentangan dengan desain fungsi pengawasan itu sendiri,” pungkas Alan Akim.
