Sebenarnya, terdapat dua tuntutan yang diusung oleh GMNI dan Gempar pada aksi tersebut. Pertama massa aksi meminta pernyataan Kapolres Sumenep secara langsung dan terbuka tentang pemberian jaminan keamanan untuk aktivis yang sedang menyampaikan pendapat.
Kedua, massa aksi mendesak Kapolres agar segera memberikan sanksi dan tindakan tegas terhadap oknum anggota kepolisian yang telah melakukan tindak kekerasan kapada mahasiswa. Namun soal ini, massa aksi menyerahkan segala mekanisme terhadap Kapolres.
“Kalau soal mekanisme pelanggaran SOP, kami pasrahkan sepenuhnya kepada Kapolres. Sementara jaminan keselamatan bagi aktivis, kami butuh statemen Kapolres Sumenep dan perjanjian hitam di atas putih (tanda tangan, red.),” tegasnya.
Akan tetapi kenyataan berkata lain, Kapolres Sumenep tidak bersedia untuk menandatangani surat perjanjian tersebut. Sehingga pria yang akrab disapa Cak Noer ini menilai Kapolres setempat masih menginginkan tindak kekerasan itu terjadi kembali.
“Oleh sebab itu, kami menduga Kapolres Sumenep masih menginginkan kejadian ini terulang lagi,” tudingnya.
Maka menurut dia, sebelum tindak kekerasan terhadap mahasiswa ini terjadi lagi, pihaknya menegaskan bahwa akan mendatangi Kantor Polres Sumenep dalam waktu dekat ke depan untuk menggelar aksi dengan tuntutan mendesak AKBP Rahman Wijaya segera hengkang dari jabatannya sebagai Kapolres Sumenep.
“Maka dari pada hal ini terjadi lagi di Kabupaten Sumenep, lebih baik kita mempunyai Kapolres baru. Tuntutan kita pada aksi jilid ke 3 yaitu akan mendesak Kapolres Sumenep mundur dari jabatannya,” tukas Noer.