Wahyudi menilai aturan ini sebagai bentuk afirmasi negara terhadap peran desa dalam pelestarian alam. “Desa yang berada di kawasan konservasi kini memiliki kepastian hak atas dana untuk menjaga lingkungan,” katanya.
Selain itu, pemerintah mengatur pemberian tunjangan purnatugas satu kali di akhir masa jabatan bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD. Besaran tunjangan disesuaikan dengan kemampuan keuangan desa masing-masing.
Meski demikian, Wahyudi mengingatkan agar regulasi teknisnya dibuat jelas agar tidak menjadi beban fiskal. “Tunjangan ini perlu mekanisme transparan agar tidak memicu kecemburuan sosial di desa,” ujarnya.
Perubahan lain yang mencolok adalah pengurangan kewenangan kepala desa dalam pengangkatan perangkat desa. Kini, kepala desa hanya berwenang mengusulkan kepada bupati atau wali kota.
Langkah ini dianggap mampu menekan praktik nepotisme dalam struktur perangkat desa. Namun, sejumlah pihak menilai ini bisa memperlambat proses dan mengurangi otonomi desa.
Wahyudi menyebutkan bahwa semangat UU ini perlu dijaga agar tidak mengerdilkan demokrasi lokal. “Pengawasan dari masyarakat dan lembaga independen harus diperkuat agar reformasi desa berjalan ideal,” katanya.
Ia menutup dengan harapan bahwa regulasi baru ini menjadi momentum untuk memperkuat desa sebagai basis pembangunan nasional. “UU ini harus dilihat sebagai peluang, bukan alat kekuasaan baru,” pungkas Wahyudi.