Pasal 35 huruf (j) dalam UU itu juga melarang kegiatan migas yang berisiko merusak secara ekologis, sosial, dan budaya. Hal ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang menegaskan pentingnya perlindungan terhadap pulau-pulau kecil dari aktivitas yang merusak.
“Kita bicara soal hak hidup masyarakat. Jangan tunggu pulau ini hancur seperti Republik Nauru baru kita menyesal,” ucap Fauzan, merujuk pada negara kecil di Pasifik yang hancur karena tambang fosfat.
Warga juga mendesak agar Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak dijadikan formalitas semata. Fauzan meminta agar masyarakat dilibatkan secara partisipatif dan aktif dalam setiap tahapan pengambilan keputusan.
“Jangan sampai izin AMDAL hanya stempel di atas kertas. Akhirnya rakyat lagi yang jadi korban,” katanya.
Sementara itu, pihak perusahaan PT Kangean Energi Indonesia (KEI) belum memberikan penjelasan resmi. Agus Indra Prihadi, saat dihubungi media, meminta wartawan menghubungi manajer perusahaan, Kampoi Naibaho, yang hanya menjawab singkat:
“Mohon maaf om, saya sedang di luar. Nanti kami pelajari dulu dan koordinasikan secara internal,” ujar Kampoi, Rabu (25/06/2025).
Pemerintah daerah juga belum bersuara lantang. Kabag Perekonomian dan SDA Setkab Sumenep, Dadang Dedy Iskandar, ketika dikonfirmasi, hanya menjawab singkat, “Besok sore, bro.”
Tiga dekade sudah energi dari perut bumi Sapeken disedot tanpa henti. Tapi janji kesejahteraan bagi warga masih sebatas angin lalu.
Kini, masyarakat tidak hanya menuntut hak, tapi juga meminta perlindungan hukum dan keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan generasi. “Kami tidak anti-pembangunan. Tapi jangan korbankan masa depan demi keuntungan sesaat,” pungkas Fauzan.