Sampang – Di tengah terik matahari yang membakar aspal di depan Kantor Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang, seorang pria bertubuh mungil berdiri kokoh di depan ratusan massa aksi demonstrasi. Rofi, nama itu kini menggema di telinga ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Jrengik Menggugat (AMJM), Kamis (15/05/2025).
Dengan tatapan tajam ke arah pintu gerbang kantor kecamatan, aparat kepolisian dan TNI menjaga ketat tempat itu, sementara Rofi menggenggam mikrofon dengan erat. Keringat bercucuran di dahinya, namun orasi demi orasi terus mengalir lantang.
“Demokrasi telah diamputasi! Empat tahun masyarakat desa dipaksa menerima kebijakan penundaan Pilkades yang jelas tidak berpihak kepada rakyat!” teriaknya, mengacungkan tangan ke udara.
Rofi bukan sosok sembarangan. Ia tampil sebagai orator ulung yang berani menyuarakan kegelisahan masyarakat desa setelah pemerintah menunda Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Kabupaten Sampang pada tahun 2021.
Kini, empat tahun berlalu, namun aspirasi masyarakat masih terkatung-katung tanpa kepastian.

“Empat tahun bukan waktu yang singkat. Kami lelah menunggu. Kami muak dengan janji-janji kosong! Hari ini, kami tuntut Pemkab Sampang untuk segera menggelar Pilkades di 143 desa tanpa perlu menunggu masa jabatan Kades definitif di 37 desa berakhir,” ucap Rofi penuh amarah.
Para peserta unjuk rasa kali ini tidak hanya menyuarakan orasi panas. Massa AMJM yang berjumlah sekitar 300 orang juga membawa keranda mayat bertuliskan “Innalillahi, Telah Wafat Demokrasi”. Massa membakar keranda di depan kantor kecamatan sebagai simbol matinya demokrasi desa akibat penundaan Pilkades.
“Pembakaran keranda ini bukan sekadar simbol, tapi pesan jelas bahwa demokrasi di desa-desa Sampang sudah mati. Pemerintah daerah lebih memilih mengulur waktu demi kepentingan kelompok tertentu daripada mendengarkan suara rakyat,” tambah Rofi sambil menatap api yang membakar keranda hingga menyisakan abu.