Jakarta – Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI, Jumat (04/07/2025), sejumlah pakar hukum menyampaikan kegelisahan atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru terkait pemilu. Seperti diinformasikan dalam Parlementaria, pertemuan itu menjadi forum penting bagi legislator untuk menyuarakan keprihatinan publik terhadap dampak konstitusional putusan tersebut.
RDPU tersebut menghadirkan empat narasumber utama: mantan Hakim MK Patrialis Akbar, mantan Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Taufik Basari, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam, As-Syafi’iyah Abdul Chair Ramadhan, serta Dosen FISIP UI, Valina Singka Subekti. Para ahli hukum ini menyampaikan pandangan kritis atas implikasi hukum dan tata negara dari putusan yang kini menuai polemik luas.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, Martin Daniel Tumbelaka, menilai bahwa putusan MK tersebut menciptakan kebingungan serius dalam sistem hukum. Menurutnya, dilema ini berdampak pada penyelenggara pemilu, masyarakat umum, dan para pembuat kebijakan di tingkat nasional.
“Tentu kami, Komisi III, terus dikejar oleh masyarakat soal apa pandangan kami terkait putusan dari MK ini. Dan saya melihat bahwa ketiga narasumber tadi sepakat bahwa putusan MK ini melampaui kewenangannya dan bahkan dinilai melanggar konstitusi,” ujar Martin dalam rapat tersebut.
Ia juga mempertanyakan posisi DPR bila tak dapat menjalankan putusan MK yang dianggap bermasalah secara konstitusional. “Sementara ada Undang-Undang yang disampaikan tadi, ada Undang-Undang nomor Pasal 22 yang juga memang itu harus kita jalankan,” tambahnya.
Martin meminta pandangan dari para pakar mengenai kemungkinan lembaga legislatif menolak pelaksanaan putusan MK secara legal dan konstitusional. Pertanyaan ini membuka ruang diskusi lebih dalam tentang batas wewenang yudisial dalam sistem demokrasi Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Patrialis Akbar menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memang bersifat final dan mengikat, namun tetap dapat dikritik secara terbuka. Ia menekankan bahwa tidak ada mekanisme bagi MK untuk membatalkan putusannya sendiri.
“Putusan MK itu juga gak bisa dibatalkan oleh MK. Kalau dibatalkan oleh MK berarti kredibilitas hakim MK masa lalu gak dijamin. Itu berbahaya juga. Jadi ini luar biasa dalam tataran ketatanegaraan kita,” tegas Patrialis dengan nada prihatin.
Ia menambahkan bahwa jika publik dan parlemen mempertanyakan validitas suatu putusan, maka muncul keraguan besar atas legitimasi hukum yang dikeluarkan lembaga tersebut. “Maka saya berpendapat adalah satu putusan yang memang dipersoalkan oleh masyarakat dan termasuk juga parlemen, berarti ada big question terhadap putusan itu,” lanjutnya.
Dalam pemaparannya, Patrialis menyebut bahwa terdapat tiga putusan MK terkait Pemilu yang dikeluarkan sejak 2013, dan dua di antaranya telah berhasil diterapkan tanpa kontroversi. Ia menilai, kedua putusan sebelumnya bahkan menjadi landasan pemilu yang melahirkan pemimpin-pemimpin nasional.
“Nah, dalam masalah ini ada tiga putusan. Sedangkan dua putusan terdahulu tidak ada masalah. Bahkan itu sudah dilakukan. Dan itu sudah menjadi bagian menghasilkan pemimpin-pemimpin negara ini, baik di eksekutif maupun di legislatif. Kita pakai putusan MK yang masa lalu. Pada 2013 itu saya ikut memutuskan pemilu serentak itu,” pungkasnya.
Valina Singka Subekti menekankan bahwa Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 tidak otomatis membatalkan putusan-putusan sebelumnya. Ia mengingatkan pentingnya presisi dalam menafsirkan dan menempatkan putusan baru dalam kerangka sistem hukum nasional.
Melalui putusan yang diucapkan pada 26 Juni 2025 itu, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilaksanakan secara terpisah dengan jarak waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan. Amar putusan tersebut membatalkan pemaknaan “serentak” dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Putusan ini merupakan tanggapan atas permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem menilai bahwa pelaksanaan pemilu lima kotak secara serentak menimbulkan efek sistemik, termasuk menurunnya kualitas kandidat dan efektifitas sistem demokrasi.