“Kalau mau nikah, sowan dulu ke kiai.”
“Kalau mau bangun rumah, minta doa ke kiai.”
“Kalau sakit belum sembuh-sembuh, coba ke kiai.”
Ungkapan-ungkapan semacam itu bukan sekadar petuah sehari-hari bagi masyarakat Madura, melainkan cerminan dari sistem sosial yang menempatkan kiai sebagai figur sentral dalam kehidupan. Kiai bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga penuntun sosial, penengah konflik, tabib batin, penasihat politik, dan bahkan pengatur ritme kehidupan masyarakat.
Dalam pandangan orang Madura, kiai bukanlah sekadar pemuka agama. Ia adalah poros moral dan kultural, tempat semua hal bermuara, dari urusan dunia hingga akhirat. Di atas tanah yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai “pulau seribu pesantren” ini, kiai bukan hanya guru, melainkan juga “raja tanpa mahkota”.
Pemimpin Formal dan Pemimpin Rasa
Kepemimpinan, dalam arti umum, selalu ada di mana-mana—baik yang formal maupun yang lahir secara alami. Dahama dan Bhatnager (1980, dalam Mardikanto 1991:204) menjelaskan bahwa pemimpin adalah seseorang yang
diakui oleh anggota sistem sosialnya sebagai pihak yang berhak menggerakkan orang lain menuju tujuan bersama.
Namun, yang menarik di Madura, pengakuan itu tidak datang dari surat keputusan, tidak pula dari hasil pemilihan formal. Pengakuan itu lahir dari rasa—dari penghormatan masyarakat terhadap pribadi yang dinilai memiliki ilmu, keikhlasan, dan kemampuan spiritual untuk menuntun. Itulah mengapa posisi pemimpin informal, terutama kiai, jauh lebih kokoh dibanding jabatan formal mana pun di Madura.
Dalam konteks lokal, ada dua figur pemimpin informal yang diakui masyarakat Madura: kiai dan blater. Dua-duanya punya pengaruh besar, namun berasal dari sumber daya yang berbeda. Blater memimpin karena kekuatan dan keberanian. Sedangkan kiai memimpin karena ilmu dan keberkahan. Jika blater mengandalkan loyalitas berbasis ketakutan dan solidaritas sosial, kiai memimpin lewat cinta dan penghormatan. Masyarakat Madura, sebagaimana banyak masyarakat agraris-religius lainnya, menginginkan pemimpin yang “membimbing”, bukan sekadar “memerintah”. Dan dalam tradisi itu, kiai adalah sosok yang memenuhi harapan tersebut.
Kiai sebagai Elite Moral
Kuntowijoyo pernah menyebut Madura sebagai “Pulau Seribu Pesantren”. Julukan itu bukan hanya metafora, tetapi fakta sosial. Di hampir setiap desa, ada langgar, surau, atau pesantren kecil yang diasuh seorang kiai. Ada kiai langgar, yang membimbing masyarakat di tingkat dusun.
Ada kiai pesantren, yang mendidik santri dari berbagai daerah. Ada kiai tarekat, para mursyid yang menuntun perjalanan spiritual para salik. Bahkan ada kiai dukun, yang menggabungkan pengetahuan agama dengan pengobatan tradisional. Semua kiai ini, dengan ragam latar dan kapasitasnya, memegang peranan besar dalam membentuk struktur sosial Madura.
Mereka menjadi apa yang disebut Laswell sebagai elite—yakni mereka yang memiliki dan mendapatkan lebih banyak dari orang lain, bukan dalam arti materi, melainkan dalam hal pengaruh dan penghormatan sosial. Dalam terminologi Pareto, elite dibagi menjadi dua: governing elite dan non- governing elite.
Kiai Madura termasuk ke dalam kategori kedua. Mereka tidak memegang jabatan formal, tetapi kuasanya jauh menembus batas-batas pemerintahan. Ketika seorang kepala desa atau bupati hendak mengambil keputusan penting, sering kali langkah pertama yang dilakukan adalah “sowan kiai”. Karena restu kiai bukan sekadar simbol; ia adalah legitimasi sosial dan spiritual yang nyata.
Stratifikasi Sosial: Santri dan Bukan Santri
Dalam stratifikasi sosial Madura, posisi kiai berada di puncak piramida. Di bawahnya, ada kelompok santri—yakni mereka yang pernah belajar di pesantren dan memiliki hubungan langsung dengan kiai. Sedangkan mereka yang tidak pernah nyantri disebut banne santre (bukan santri).
Dua lapisan sosial ini membentuk cara pandang masyarakat terhadap otoritas. Santri menjadi perpanjangan tangan kiai dalam menyebarkan ajaran, nilai, dan etika sosial di lingkungannya. Mereka adalah “kelas menengah religius” yang menjaga kesinambungan pengaruh kiai di tengah masyarakat.
Sementara itu, kelompok banne santre pun tidak serta-merta terpinggirkan. Mereka tetap menghormati kiai sebagai figur yang harus dijaga hubungan baiknya. Dalam berbagai acara sosial—mulai dari pernikahan, khitanan, hingga hajatan panen—kehadiran kiai menjadi syarat sahnya perayaan.
Doa kiai adalah simbol keberkahan. Dengan demikian, hubungan antara kiai dan masyarakat Madura bukanlah relasi kuasa satu arah, tetapi hubungan timbal balik antara pengayoman dan kepatuhan, antara barakah dan bakti.
Kiai sebagai Wasilah Kehidupan
“Dari urusan ladang sampai urusan langit,” begitu kira-kira peran kiai di Madura. Di salah satu kecamatan di Kabupaten Sumenep, misalnya, hampir semua keputusan penting dalam hidup masyarakat selalu bermula dari petunjuk kiai. Ketika seseorang ingin membuka lahan baru, ia datang meminta doa.
Saat rumah hendak dibangun, orang datang membawa bata pertama untuk diberkahi. Saat anak mereka sakit, selain ke puskesmas, mereka juga meminta air doa dari kiai. Kiai menjadi tempat rujukan segala hal: konsultasi agama, urusan keluarga, pengobatan fisik dan rohani, urusan rezeki, jodoh, hingga politik lokal.
Tak jarang, dalam kontestasi pilkades atau pemilu, keputusan masyarakat untuk memilih calon tertentu bergantung pada “dawuh” kiai. Dan yang menarik, masyarakat tidak merasa diperintah—mereka merasa dituntun.