“Kalau perpanjangan jabatan Kades definitif dan Pj Kades, mereka langsung comot UU baru. Tapi buat Pilkades, mendadak butuh segala tetek-bengek dulu. Konsistensinya luar biasa, kayak sinyal WiFi di desa: kadang ada, kadang ngilang,” kata Jabir sambil memutar bola mata.
Ia pun heran kenapa Pemkab Sampang suka sekali main tebak-tebakan aturan atau hukum. Kalau cocok, dijalankan. Kalau enggak, tunggu ‘petunjuk dari langit’ alias PP sesuai surat edaran. Logikanya lebih lincah dari akrobat sirkus.
“Hukum (aturan) versi kampungan itu kayak buffet hotel: ambil yang enak, skip yang bikin mules. Kalau nggak suka UU, tinggal bilang lagi nunggu PP. Gampang!” Ujarnya dengan nada santai penuh getaran satire.
Jabir menilai gaya main begini bukan cuma bikin bingung warga, tapi juga bisa bikin ahli hukum kena migrain akut. Menunda Pilkades tanpa dasar yang jelas itu bukan cuma pemikiran mumet logis tingkat tinggi, tapi juga bikin demokrasi desa semaput.
Ia meminta Pemkab Sampang berhenti sembunyi di balik dalih administratif setengah matang yang aromanya sudah basi. Demokrasi desa itu bukan eksperimen masak-masakan, tapi soal hak rakyat.
Sampang butuh pejabat yang berpikir pakai nalar, bukan yang andalkan feeling birokrasi. Warga butuh kepastian, bukan pertunjukan logika bolak-balik yang lebih rumit dari sinetron azab.
Kalau begini terus, jangan heran kalau rakyat lebih percaya komedi satire di YouTube daripada konferensi pers Pemkab Sampang. Karena ya jujur saja, kadang lucu-lucuannya mereka terasa lebih logis dari keputusan aslinya.