Opini  

Benarkah MUI Anak Emas Negara?

Madurapers
Abdul Mukhlis, Pemerhati Sosial Politik dan Kebijakan Publik

Pemimpin organisasi sosial keagamaan khususnya NU tidak pernah menyatakan baik secara lisan maupun secara tertulis direpresentasikan oleh MUI. Bahkan pemimpin NU khususnya Gus Dur dan Kiai Said Agil Siraj disamping para tokoh-tokoh NU lainnya secara terang-terangan memberikan kritik pedas atas fatwa-fatwa yang dinilai menyesatkan dan memicu intoleransi umat beragama. Tentu kritikan itu bertujuan agar berintropeksi diri dan lebih hati-hati dalam mengeluarkan fatwa yang dapat memicu konflik horizontal antar umat beragama.

MUI Anak Emas Negara?

Bagaimana dengan undang undang yang di dalamnya harus ada peran MUI? Lagi-lagi Gus Dur menegaskan bahwa ia bukan satu-satunya lembaga keagamaan. Masih banyak lembaga lain, seperti NU dan Muhammadiyah. Kewenangan itu sebenarnya diberikan negara kepada MUI dan sifatnya bisa berubah tergantung pada perubahan kebijakan dan regulasi. Tinggal bagaimana para decision makers mempunyai keberanian untuk mengevaluasi dan memperlakukan setiap organisasi setara di depan hukum dan pemerintahan.

Menurut Syafiq Hasyim (2/10) yang melihat dari sisi lemahnya ormas Islam, khususnya dalam bidang fatwa, menjadikan MUI sebagai lembaga yang dianggap paling mewakili umat Islam Indonesia dan paling otoritatif dalam urusan fatwa. Pernyataan itu tidak sepenuhnya tepat karena dua alasan mendasar.

Pertama, privileges negara kepada MUI memunculkan perlakuan yang unfair dan menjadi lebih superior dibandingkan dengan organisasi keagamaan lainnya. Kedua, organisasi besar keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah ‘mungkin’ tidak ingin sembarangan membuat fatwa karena dasar pertimbangan konstitusi (kebebasan beragama dan kepercayaan) apalagi yang berdampak besar dalam memicu konflik horizontal dan perpecahan antar umat beragama.

Pemerintah sebagai instrument negara setidaknya perlu diingatkan kembali bahwa perlakuan setara pada setiap organisasi kemasyarakatan dengan cara mengevaluasi kebijakan dan regulasi yang cenderung ‘menganakemaskan’ salah satu organisasi dan menafikkan yang lain perlu dipertimbangkan secara seksama. Bukankah tugas negara menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia?

Saat Suryadharma Ali (SDA) menjadi Menteri Agama menegaskan, “kalau semua otoritas diberikan kepada MUI, ormas lain akan iri. NU mau, Muhammadiyah mau jadi kan tidak bagus. Untuk itu harus diberikan kepada pemerintah.”

Salah satu opsi yang akan dilakukan adalah membentuk satu badan nasional penjamin produk halal melalui rancangan undang-undang Jaminan Produk Halal. Sayangnya, upaya itu tidak terdengar lagi kelanjutannya.

Perlakuan negara secara berlebihan, menurut Syafiq Hasyim saat diwawancarai BBC mengungkapkan bahwa MUI cenderung berupaya mendikte negara dan kebijakannya. Kalau anggapan itu benar, kekuasaannya diatas kekuasaan negara. Dengan logika sederhana, negara didikte oleh MUI dan MUI bisa ditunggangi radikalisme. Apa yang akan terjadi ke depan? Wallaahu A’lam Bish-Shawaab.

 

Abdul Mukhlis, Pemerhati Sosial Politik dan Kebijakan Publik, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya