Opini  

Buat Apa Pemilu Kalau Curang?

Madurapers
Mohammad Fauzi, peneliti sosial-politik di Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD)
Mohammad Fauzi, peneliti sosial-politik di Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) (Dok. Madurapers, 2024).

Pemilihan umum (Pemilu) adalah sebuah panggung demokrasi yang diharapkan menjadi wadah bagi suara rakyat untuk dihormati dan diwujudkan dalam bentuk pemilihan pemimpin secara jujur, adil, dan transparan. Namun, pertanyaan mendasar pun muncul: “Buat apa pemilu kalau curang?” Pertanyaan yang menggelitik, merangsang pikiran, dan menghadirkan refleksi mendalam terhadap realitas politik yang kadang-kadang keruh dan membingungkan.

Pemilu, dalam idealismenya, adalah manifestasi tertinggi dari suatu sistem demokrasi. Ini adalah saat (momen) di mana setiap warga negara memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan pemimpinnya. Ini adalah momen di mana suara rakyat didengar, dihitung, dan dihormati. Namun, apa yang terjadi ketika proses ini ternyata tidak seadil yang diharapkan?

Curangnya pemilu tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, tetapi juga membahayakan fondasi demokrasi itu sendiri. Pemilu yang curang menunjukkan ketidakadilan sistem, ketidaktransparanan, dan terkadang korupsi yang mengakar dalam struktur politik sebuah negara. Ini adalah penghinaan bagi setiap warga negara yang menginginkan perubahan yang sejati melalui jalur demokratis.

Salah satu bentuk kecurangan pemilu yang paling meresahkan adalah pemalsuan hasil dan manipulasi suara. Ketika suara rakyat tidak dihitung dengan benar atau bahkan digantikan oleh suara palsu, maka konsekuensinya adalah pemimpin yang tidak mewakili kehendak rakyat akan terpilih. Ini bukanlah demokrasi; ini adalah tirani yang dilapisi dengan topeng demokrasi. Sebuah permainan politik yang menjijikkan yang merampas hak-hak rakyat.

Selain itu, praktik intimidasi dan ancaman juga sering kali menjadi alat bagi pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memanipulasi hasil pemilu. Mulai dari pemilih yang dipaksa untuk memilih calon tertentu hingga pengawas pemilu yang diancam agar tidak melaporkan kecurangan, intimidasi ini merupakan serangan terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berpartisipasi.

Pemilu yang curang juga sering kali dikaitkan dengan praktik politik uang dan patronase. Calon atau partai politik yang kaya memiliki keunggulan yang tidak adil atas calon atau partai politik lainnya yang mungkin memiliki dukungan yang lebih luas tetapi kurang sumber daya finansial. Hal ini mengubah pemilihan umum menjadi sebuah ajang bagi yang paling kaya daripada yang paling baik.

Namun, dalam kegelapan kecurangan pemilu, masih ada sinar harapan. Masyarakat sipil, lembaga pengawas pemilu, dan media independen dapat menjadi garda terdepan dalam memastikan keadilan dan transparansi dalam proses pemilihan umum. Partisipasi aktif dari masyarakat dalam pemantauan pemilu, pelaporan kecurangan, dan memperjuangkan reformasi politik adalah kunci untuk mengatasi masalah ini.