Dua Tahun Kasus Mandek, Polres Sumenep Terindikasi Kongkalikong

Avatar
Tim Kuasa Hukum H. Fathor Rasyid saat memasang plakat hasil putusan Pengadilan Negeri Sumenep dan Pengadilan Negeri Tinggi Surabaya lahan sengketa yang berlokasi di perbatasan Kecamatan Bluto dan Pragaan. (Sumber Foto: Fauzi). 

Sumenep – Kepolisian Resort (Polres) Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur kembali menjadi sorotan setelah muncul kembali dugaan adanya ketidakberesan dalam penanganan kasus hukum.

Salah satu kasus yang mencuat adalah kasus penebangan dan pencurian pohon yang melibatkan Abdul Wasik Baidhowi dan kawan-kawannya sebagai terlapor. Kasus ini menjadi sorotan karena adanya dugaan kecurangan dalam proses hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian setempat.

Nadianto, kuasa hukum Iftitah yang merupakan putra dari H. Fathor Rasyid sebagai korban dalam kasus ini, mengungkapkan bahwa laporan awal kasus tersebut diajukan pada 15 September 2022 dengan nomor laporan LP/B/IX/2022/Polres Sumenep/Polda Jawa Timur. Namun, setelah dua tahun berlalu, tidak ada perkembangan signifikan dari pihak kepolisian terkait kasus ini.

Tanah seluas setengah hektare yang diklaim milik Abdul Wasik Baidhowi terletak di Desa Guluk Manjung, Kecamatan Bluto, tepatnya di perbatasan Kecamatan Bluto dan Pragaan. Di atas tanah yang disengketakan tersebut, terdapat bangunan masjid dan rumah yang didirikan oleh Abdul Wasik Baidhowi.

Namun, Pengadilan Negeri Sumenep, melalui putusan nomor 8/PDT/2023/PN.SMP yang diperkuat oleh putusan banding Pengadilan Tinggi Surabaya nomor 391/PDT/2024/PT.SBY, menegaskan bahwa tanah itu secara sah adalah milik H. Fathor Rasyid.

“Walaupun saksi-saksi telah dimintai keterangan dan bukti-bukti telah diserahkan, hingga kini pelapor dan korban tidak pernah mendapat informasi yang jelas mengenai status dan perkembangan kasus ini,” ujar Nadianto kepada media, Jumat (23/08/2024).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa permintaan resmi dari pihaknya mengenai status pemeriksaan juga tidak ditanggapi oleh Polres Sumenep.

“Situasi ini semakin menguatkan kecurigaan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan indikasi ‘kongkalikong’ antara Polres Sumenep dengan para tersangka,” tegas Nadianto.

Menurut Nadianto, pelapor yang berasal dari kalangan masyarakat biasa tampaknya mendapat perlakuan yang tidak adil.

Sebaliknya, para tersangka yang merupakan tokoh masyarakat dengan pengaruh kuat di Kabupaten Sumenep, tampaknya kebal terhadap hukum.

“Hingga saat ini, para tersangka dan rekan-rekannya yang seharusnya sudah dipanggil dan ditahan, masih bebas berkeliaran. Bahkan, mereka diduga sering mengejek korban ketika bertemu di wilayah tempat tinggal mereka,” ungkapnya.