Bagi masyarakat Madura, dawuh kiai bukan sekadar saran, melainkan petunjuk hidup. “Sapa ngelawan kiai, nasibnya sengsara,” begitu pepatah yang sering didengar di desa desa. Ketaatan ini bukan karena ketakutan, melainkan karena keyakinan bahwa kiai adalah wasilah—perantara menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Kekuatan dari Keikhlasan
Menariknya, kiai tidak pernah meminta imbalan atas pengaruhnya. Tidak ada gaji, tidak ada tunjangan, tidak ada jabatan yang menjanjikan materi. Semua dijalankan dengan keikhlasan dan pengabdian.
Kiai hidup dari masyarakat, tapi bukan untuk “mengambil” dari masyarakat. Ia hadir untuk memberi. Ia menolong orang sakit tanpa tarif, memberi doa tanpa pamrih, bahkan sering kali membantu orang miskin dengan hasil pertanian pesantrennya sendiri.
Dari keikhlasan inilah muncul otoritas moral yang tak tergoyahkan. Masyarakat pun membalasnya dengan cinta dan pengabdian. Tak jarang, santri atau warga sekitar dengan sukarela mengabdi di rumah kiai: membersihkan halaman, membantu tamu, menjaga pesantren.
Bagi mereka, melayani kiai bukan kerja—itu pengabdian suci. Hubungan yang terbentuk antara kiai dan masyarakat adalah hubungan emosional, spiritual, dan sosial sekaligus.
Kiai diposisikan seperti orang tua yang selalu siap mendengar, menasihati, dan menuntun anak-anaknya. Maka
tak heran, ketika kiai wafat, kesedihan masyarakat begitu mendalam, seolah kehilangan arah hidup.
Akar Historis Pengaruh Kiai
Peran besar kiai dalam kehidupan sosial Madura dapat ditelusuri dari sejarah panjang perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Dalam perjuangan merebut kemerdekaan, kiai-kiai Madura menjadi garda depan perlawanan. Mereka bukan hanya memotivasi umat lewat pengajian, tapi juga ikut memimpin langsung perjuangan fisik. Kiai di Madura adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Dari pesantren-pesantren kecil di Sampang, Bangkalan, hingga Pamekasan dan Sumenep, lahir tokoh-tokoh yang menjadi penjaga moral dan pelita perjuangan. Selain itu, pesantren yang mereka dirikan sejak lama berfungsi sebagai lembaga pendidikan rakyat. Sebelum sekolah formal hadir, pesantren telah mengajarkan baca tulis, fikih, tafsir, akhlak, hingga keterampilan hidup. Dari sinilah muncul generasi Madura yang tercerahkan dalam agama, sekaligus terdidik dalam nilai-nilai sosial.
Kiai dan Politik: Antara Barakah dan Kekuasaan
Dalam perkembangan modern, pengaruh kiai juga merambah dunia politik. Banyak kandidat kepala daerah datang “sowan” untuk mendapatkan restu. Tidak sedikit yang bahkan menjadikan kiai sebagai bagian dari tim penasehat
spiritual.
Namun, di sinilah muncul tantangan baru: bagaimana menjaga keseimbangan antara otoritas moral dan praktik politik. Tidak semua kiai nyaman berada di ranah politik praktis. Sebagian memilih tetap menjadi penjaga jarak—menjadi penuntun moral bagi siapa pun yang berkuasa.
Sebagian lain, terlibat aktif, namun dengan batas yang tetap dijaga: politik dijalankan sebagai jalan pengabdian, bukan perebutan kuasa. Bagi masyarakat Madura sendiri, kiai tetaplah kiai. Bahkan ketika ia mendukung kandidat tertentu, masyarakat tidak melihatnya semata-mata sebagai tindakan politik, melainkan sebagai bentuk ijtihad sosial. Selama kiai itu masih menjaga keikhlasan dan akhlaknya, kepercayaan masyarakat tidak luntur.
Kiai di Tengah Modernitas
Madura kini tidak lagi sama dengan Madura yang digambarkan dalam buku- buku etnografi tempo dulu. Jalan-jalan mulus, jaringan internet menjangkau pelosok desa, dan anak-anak muda mulai menempuh pendidikan tinggi di kota-kota besar.
Namun satu hal yang belum berubah: posisi kiai tetap kokoh. Modernitas memang mengubah cara orang berinteraksi, tapi tidak menghapus rasa hormat. Santri kini membawa ponsel di saku, tapi tetap mencium tangan kiai dengan penuh takzim.
Anak muda mungkin aktif di media sosial, tapi tetap pulang ke pesantren saat Ramadan untuk nyabis dan mencari berkah. Artinya, otoritas kiai di Madura tidak bersandar pada institusi, tetapi pada kepercayaan sosial. Dan selama kepercayaan itu terjaga, kepemimpinan informal ini akan tetap hidup, bahkan di tengah gempuran zaman digital.
Pelajaran dari Madura: Kepemimpinan yang Bertumbuh dari Rasa
Dari Madura, kita bisa belajar tentang bentuk kepemimpinan yang unik—kepemimpinan yang lahir bukan dari sistem formal, tetapi dari pengakuan sosial yang mendalam. Dalam banyak teori kepemimpinan modern, syarat menjadi pemimpin adalah kemampuan manajerial, strategi, dan komunikasi. Tapi di Madura, syarat menjadi kiai tidak ditentukan oleh kemampuan retorika atau administrasi, melainkan oleh keikhlasan, ilmu, dan keteladanan. Kiai tidak memimpin dengan perintah, tetapi dengan contoh. Ia tidak memaksa masyarakat untuk mengikuti, tapi masyarakat justru mengikuti karena percaya. Ini adalah model kepemimpinan yang semakin langka di tengah dunia yang kian pragmatis. Kepemimpinan kiai juga menunjukkan bahwa otoritas sosial tidak selalu identik dengan kekuasaan formal. Justru karena ia lahir dari proses nonformal, ia memiliki daya tahan lebih panjang. Pemimpin formal bisa berganti setiap periode, tapi pemimpin informal seperti kiai akan terus hidup dalam ingatan dan doa masyarakat.
Refleksi: Saat Dunia Kehilangan Teladan
Dalam dunia yang semakin serba transaksional, kisah tentang kiai di Madura seperti oasis di tengah gurun pragmatisme. Di saat banyak pemimpin kehilangan arah moral, kiai tetap menunjukkan bahwa pengabdian adalah inti dari kepemimpinan. Kiai tidak butuh panggung, tidak haus popularitas.
Ia memimpin dengan ketenangan, menuntun dengan kesabaran, dan menegur dengan kelembutan. Barangkali inilah sebabnya, setiap kali kita berbicara tentang Madura, yang pertama muncul bukanlah nama pejabat, melainkan nama kiai.
Karena bagi orang Madura, pemimpin sejati adalah dia yang mampu menuntun hati, bukan hanya mengatur kebijakan. Maka, di tengah hiruk-pikuk modernitas, di tengah kemelut politik dan ambisi duniawi, sosok kiai di Madura mengingatkan kita bahwa kepemimpinan sejati selalu tumbuh dari keikhlasan dan cinta kepada umat.
Dan selama masyarakat Madura masih menempatkan nilai agama dan keikhlasan sebagai fondasi hidup, selama itu pula kiai akan tetap menjadi matahari sosial yang menerangi pulau garam ini: sederhana, ikhlas, tapi selalu menyala.