“Kalau permak itu, saya kadang sampai lupa apa saja yang harus dipermak, kalau seragam kan gampang banget. Sambil merem juga sudah jadi. Kalau garapan jahit seragam ini banyak dan konsisten, nanti tak tutup aja permaknya, saya tak jadi penjahit baju aja,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia pun menyampaikan terimakasih banyak kepada Wali Kota Eri dan jajaran Pemkot Surabaya serta tim Super yang telah memberikannya kesempatan untuk menjadi penjahit tulen. Menurutnya, inilah impian yang selama ini ditunggu-tunggu.
“Terimakasih banyak Pak Eri dan teman-teman pemkot serta tim Super. Saya merasa bergairah lagi untuk menjalani hidup,” ujarnya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Ibu Mujiati, Penjahit Super Bentul Wonokromo. Sejak ditinggal suaminya meninggal 30 tahun lalu, ia menghidupi tiga anaknya dengan jadi penjahit.
Bahkan, hingga punya empat cucu, ia terus semangat menjahit. Semangatnya tak pudar meski usianya sudah 62 tahun, dia pun tak mau kalah dengan penjahit muda lainnya.
“Akhir-akhir ini memang sepi jahitan karena pandemi. Saya berpikir bagaimana caranya supaya dapat garapan jahit? Carinya di mana? Saya sampai bingung. Dari situ saya didatangi tim Super untuk diajak bergabung dan akhirnya bergabung hingga sekarang,” kata Ibu Mujiati.
Bahkan, ia pun mengajak beberapa tetangga untuk membantunya dengan pekerjaan sederhana seperti melipat, menyeterika, dan juga membersihkan bekas benang. “Jadi, berkah itu harus dibagi-bagi,” katanya.