Padahal uang tersebut sepenuhnya digunakan untuk bantuan, sementara mereka sudah mendapatkan gaji tetap bulanan. Tetapi masih mengambil keuntungan di luar gaji pokok hasil pencairan dana bantuan.
Kerangka berpikir yang sudah umum di masyarakat, bahwa manusia perwakilan tersebut yang sudah membantu dalam membantu pencairan dana bantuan kemudian mengambil upah, uang lelah atau uang terimakasih.
Ditelaah lebih jauh bahwa dana bantuan yang disalurkan di lembaga-lembaga merupakan hasil dari korupsi. Namun untuk mensucikan dana bantuan tersebut, maka uang tersebut disumbangkan di lembaga sosial dan agama, maka hal tersebut bisalah dinamakan zakat.
Padahal zakat itu dikeluarkan dari dana pribadi yang dimiliki selama satu tahun dan sudah mencapai nasab. Adapun dana tersebut yang didapatkan dari hasil pekerjaan yang baik dan halal.
Namun apologi atau alasan yang berkembang di tataran para elite manusia perwakilan, bahwa ketika dana bantuan itu dikeluarkan dari hasil korupsi, maka dianggap dana itu sudah menjadi suci dan halal.
Sederhananya sebuah tindakan yang dilakukan walaupun pada awal mulanya adalah tidak baik atau tidak halal, namun ketika ditujukan dengan maksud dan tujuan yang baik, maka rejeki tersebut seolah-olah adalah baik dan tidak bersalah, maka hasil yang didapatkan juga sudah dianggap suci atau halal.
Hal ini sudah tidak asing lagi di masyarakat, maka tidak perlu heran dan aneh lagi mengapa kasus korupsi di Indonesia masih tinggi dan terus berkembang??? Dasar korupsi syari’ah!!!
***Amir Bandar Abdul Majid, M. Pd., adalah alumnus Magister Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga, q)Yogyakarta
