Hamba kira argumentasi di atas bukanlah sekadar argumentasi retoris belaka (Hujjah Khitabiyah). Gagasan ini telah mewakili banyak orang karena memiliki kedekatan dengan realitas Hukum di Indonesia. Jika hendak ditelusuri lagi, gagasan ini juga bukanlah cita-cita Anies Baswedan semata, atau Indonesia saja. Telah banyak tokoh-tokoh dunia yang timbul tenggelam menyuarakan gagasan seperti yang disampaikan oleh paslon kosong satu ini yakni, “menempatkan hukum di atas kekuasaan.”
Salah satunya, bisa kita baca melalui buku Lex, Rex (Hukum adalah raja) Lex dalam bahasa Latin adalah Hukum, sementara Rex bermakna Raja, bukan kebalikannya yaitu Raja adalah Hukum. Buku ini ditulis oleh pendeta Presbiterian Skotlandia Samuel Rutherford yang diterbitkan pada tahun 1644 M. Gagasan yang sama juga pernah disuarakan oleh tokoh revolusioner Britania Raya Thomas Paine, pada tahun 1779, “di sini, di Amerika, raja bukanlah Hukum, Hukum adalah Raja.” Terang Paine.
Barangkali sebagian manusia akan menganggap gagasan ini terlalu utopis atau omon-omon semata, yang akan timbul-tenggelam seperti tokoh pendahulunya yang pernah menyuarakan gagasan ini, tidak masalah.
Sebesar ketakutan saya pada Jokowi yang menjadikan dan menempatkan Hukum pada telapak kakinya, sebesar itulah hamba menaruh keyakinan bahwa Anies akan mengembalikan Hukum pada posisi di atas kekuasaan. Dengan melihat beberapa rekam jejak dan perjalanan intelektualnya.
Fenomena yang terjadi dan ramai diberitakan media Independen akhir-akhir ini, seperti tempo dan seterusnya. Semakin memperlihatkan kepada publik betapa orang-orang kaya dan pemegang kekuasaan tidak pernah terkekang oleh “Hukum adalah Raja”. Ratusan anak muda Indonesia, Ulama, akademika, guru besar berteriak menuntut haknya, seperti hanya lewat begitu saja. ” Biarkan saja”.
Seolah-olah ada undang-undang yang berbeda –satu untuk masyarakat awam, atau remaja pada umumnya, dan satu lagi untuk kelompok kaya atau pemuda seperti Gibran misalnya.
*** Hanif Muslim, Mahasiswa UNU Yogyakarta sekaligus kader KMBY.
