Linguistik Hukum Singkap Ambiguitas Putusan MK Soal Pemilu 2029

Madurapers
Wahyudi, dosen Linguistik Program Studi Linguistik, Universitas Bahaudin Mudhary Madura (UNIBA Madura).
Wahyudi, dosen Linguistik Program Studi Linguistik, Universitas Bahaudin Mudhary Madura (UNIBA Madura). (Foto: Madurapers, 2025)

Bangkalan – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 menuai pro-kontra publik Indonesia. Meskipun secara yuridis sah, putusan ini menyimpan potensi ketidakkonsistenan secara bahasa hukum.

Wahyudi, dosen linguistik UNIBA Madura, menyoroti perbedaan makna dalam istilah yang digunakan MK dari waktu ke waktu. “Kata ‘serentak’ dan ‘terpisah’ tidak dijelaskan dengan standar semantik yang ajeg,” ujarnya.

Dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, pemilu nasional dan daerah harus dipisahkan untuk menyederhanakan proses pemilu. Namun dalam putusan sebelumnya, MK menyatakan bahwa model serentak merupakan bentuk efisiensi demokrasi.

“Penggunaan istilah dalam kedua putusan terlihat saling bertolak belakang tanpa ada klarifikasi linguistik yang memadai,” kata Wahyudi. Ia menilai hal ini mengganggu kohesi wacana hukum dan komunikasi publik.

MK berdalih pemisahan jadwal akan meningkatkan kualitas pemilu dan konsentrasi pemilih. Namun sebelumnya, argumentasi serupa dianggap tidak cukup kuat oleh MK dalam perkara terdahulu.

“Kalau dulu argumen kelelahan pemilih dan beban kerja penyelenggara tidak diterima, kenapa sekarang justru dijadikan alasan utama?” Kritik Wahyudi terhadap perubahan arah argumentasi MK.

Dari perspektif linguistik, perubahan narasi MK menunjukkan inkonsistensi dalam framing hukum. Frasa-frasa yang dipakai berubah tergantung konteks dan pemohon, bukan berdasarkan prinsip tetap.