Secara regulatif/normatif, santri sebagai publik atau kelompok kepentingan dapat dibenarkan melakukan hal tersebut. Hal ini karena merupakan ejawantah dari hak politik dan sipil, yang puncaknya dapat mengkonsolidasi demokrasi. Hak politik dan sipil ini sudah diatur dalam UUD 1945 (termasuk di Amandemen ke-4), UU No. 23 Tahun 2014, UU No. 6 Tahun 2014, dan UU No. 7 Tahun 2017.
Peran ini sangat krusial diambil oleh santri karena santri merupakan bagian dari publik, yang memiliki kepercayaan pada politik idealis, yakni sebagai alat kebijakan dan kebijaksanaan untuk rakyat.
Lalu, dimana perannya yang dapat dilakukan dalam politik dan pemerintahan untuk tujuan konsolidasi demokrasi?
Di ranah politik perannya dapat dilakukan di partai politik, pemilu, pilpres, pemilukada, dan pilkades. Bentuk perannya, bisa sebagai pengurus partai, kontestan pemilihan politik, maupun partisipan/pemilih pada pemilihan politik.
Di pemerintahan perannya dapat dilakukan pada proses pembuatan sampai dengan evaluasi kebijakan, baik di Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun Pemerintah Desa.
Kebijakan tersebut, antara lain, di: (1) musyawarah rencana pembangunan, (2) pembuatan peraturan perundang-undangan, (3) realisasi anggaran, program, dan kegiatan program pembangunan, dan (4) capaian pembangunan.
Bentuk perannya, bisa melalui musyawarah, advokasi sosial, audiensi, pertemuan publik, kajian, lobi, bahkan bisa juga melalui demonstrasi (aksi massa) asal tertib sesuai regulasi.
Dengan demikian, santri posisinya dalam struktur/sistem politik menjadi aktor partisipan politik dan pemerintahan yang aktifbukan pengembira politik/pemerintahanyang ikut andil menentukan konsolidasi demokrasi. Yakni demokrasi sudah menjadi kebiasaan dan budaya masyarakat (Sorensen, 2003).
Hasil/keluaran (ouput) dari konsolidasi demokrasi yang dapat diharapkan adalah politik dan pemerintahan menjadi baik. Dampak positif (outcome)-nya kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya tertata dengan baik.
Ukurannya secara empirik dapat dilihat/dianalisis pada kinerja politik, pemerintahan, ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan sebagainya (Diamond, 2003).
Ketercapaian kinerja-kenerja tersebut di Indonesia tahun 2021 antara lain: pertama, demokrasi menurun karena konflik antargolongan, militer masuk ranah sipil, dan dinasti politik (Jati, 2021). Kedua, pembangunan manusia berada di level tinggi, dengan skor 0,76 (BPS RI, 2021a).
Ketiga, pertumbuhan ekonomi 7,07 persen atau Rp4,174 triliun (BPS RI, 2021c). Keempat, angka kemiskinan sebesar 26,50 juta atau 9,71 persen (BPS RI, 2022a).
Kelima, pengangguran sebesar 9,10 juta orang atau 6,49 persen (BPS RI, 2021b). Keenam, ketimpangan sebesar 0,381 berada di revel rendah (BPS RI, 2022b).
Penulis: Mohammad Fauzi Pengajar di PTN/PTS di Kota Surabaya dan Dewan Penasehat Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD)
