Opini  

Menyoal Politik Identitas Primordial Madura

Madurapers
Hoirul Anam adalah peneliti di Pusat Studi dan Konsultasi Hukum UIN Sunan Kalijaga (Dok. Madurapers, 2023).
Hoirul Anam adalah peneliti di Pusat Studi dan Konsultasi Hukum UIN Sunan Kalijaga (Dok. Madurapers, 2023).

Jika kita kontekstualisasikan ke dalam topik ini, politik identitas itu selalu ada dalam sejarah dan selalu menjadi faktor utama konflik antaretnis. Oleh sebab itu, hal ini wajib kita perangi. Setelah ditelusuri lebih mendalam melalui beberapa analisa yang mendalam terhadap fakta di Madura ini, dikotomi antaretnis itu dibentuk oleh elit dengan berbentuk berita hoax serta adu domba.

Problematika ini bisa diselesaikan dengan dua cara: (1) membumikan spirit demokrasi, dan (2) membudayakan pikiran kritis. Membumikan demokrasi, sama halnya dengan mangais kebersamaan yang dikikis oleh oknum. Jadi, tidak ada tawar dalam hal ini, selain merupakan warisan founding fathers.

Pikiran kritis merupakan mesin kehidupan. Bahkan, Descartes mengungkapkan postulat yang bunyinya begini: “cogito ergo sum”, manusia dikatakan wujud saat ia berpikir. Seolah-olah Descartes ingin mengatakan bahwa manusia yang berkeliaran itu sama halnya tidak ada, meski fisiknya tebal dan agak cokelat. Selaras dengan spirit pikiran kritis ini ialah firman Allah SWT. QS. Al-Hujurat Ayat (6) yang berbunyi:

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Sebagai kelompok yang terkenal religiusitas, orang Madura seharusnya tidak lagi terjebak pada politik identitas yang dibuat-buat. Selain berbahaya, hal ini tidak sinkron dengan budaya gotong royong di Madura. Jika rumah saja bisa dipikul bersama-sama oleh orang Madura, mengapa kebersamaan dan persatuan dalam pluralitas tidak bisa?

Pada titik terdalam topik ini, politik etnisitas dan identitas bertolak dari eksternal orang Madura yang sebagian orang terkena jaring itu. Masyarakat Madura harus bisa membedakan ranah politik dan yang bukan, agar perbedaan pilihan politik tidak mengkristal menjadi konflik yang berkepanjangan. Namun, semua ini tidak akan tercapai sebelum pendidikan di Madura maju.

*** Hoirul Anam adalah peneliti di Pusat Studi dan Konsultasi Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.