Legitimasi politik Pj Kades pun berada di level ‘panggilan bos’, bukan amanat rakyat. “Pj Kades itu bukan pilihan rakyat, tapi pilihan elite politik dan birokrasi yang bisa saja punya agenda tertentu,” jelasnya.
Penunjukan Pj Kades secara sepihak membuka peluang lebar bagi jual beli jabatan dan kebijakan. “Ini membuka peluang jual beli jabatan, korupsi, dan semoga saja itu tak terjadi,” kata Faries, setengah berharap setengah putus asa.
Konflik kepentingan semakin tak terhindarkan karena Pj bisa jadi titipan kekuasaan. “Yang ditunjuk bisa jadi orang dekat kekuasaan, bukan orang yang layak memimpin,” kritiknya.
Sementara rakyat harus tetap mengurus surat, urusan, dan harapan di tengah kekacauan kursi kepemimpinan desa. “Warga bingung harus lapor ke siapa, ke Pj Kades atau ke camat?” Tanyanya.
Pembangunan desa pun berubah menjadi agenda numpang lewat, tanpa arah jangka panjang. “Pj Kades itu hanya numpang lewat, bukan perencana pembangunan,” ujarnya, seakan menutup buku RPJMDes.
Penundaan Pilkades menjadi bukti nyata bahwa kebijakan daerah sedang dikelola dengan metode ‘asal tunda’. “Bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah daftar masalah baru,” kata Faries, menghitung keruwetan.
Faries menutup pendapatnya dengan kalimat yang pantas dicetak besar di depan kantor bupati Pemkab Sampang. “Kalau regulasi jadi alasan untuk membungkam demokrasi, itu bukan pemerintahan—itu pertunjukan sirkus,” katanya sambil menyalakan alarm akal sehat.
