SBY sebagai pengganti AU pada KLB Bali tidak lepas dari peran dan dukungan AU serta orang-orangnya dalam melakukan konsolidasi pengurus di daerah. Akan tetapi ruang kompromi yang dibangun oleh kelompok AU tidak menuai hasil, bahkan beberapa nama yang diusulkan atas permintaan AU juga tidak ada yang masuk dalam kepengurusan.
Dominasi Kekuasaan dalam Politik Oligarki
Turunnya peringkat PD tidak terlepas dari dinamika internal yang tidak menguntungkan secara politik yang seharusnya mendapatkan perhatian untuk dievaluasi kembali. Malah sebaliknya, PD sendiri terjebak pada dominasi kekuasaan dalam politik oligarki dengan membangun status quo.
Itulah yang menjadi alasan mendasar atas ke-tidak terakomodirnya kekuatan lain selain kekuatan tunggal. Hal itu terungkap melalui pernyataan Gede Pasek saat berkompromi dengan SBY yang berjanji akan merangkul semua dan bangkit bersama. Namun itu tidak terbukti karena nama-nama yang diusulkan, termasuk nama Gede Pasek sendiri tidak terakomodir.
Sejak itulah, banyak kader mundur secara teratur atau dipecat karena tidak sejalan dengan arus kepentingan di atas. Kondisi itu diperparah oleh pengunduran AHY dari militer dan menjadi calon gubernur DKI Jakarta yang diusung oleh beberapa partai politik koalisi yang diprakarsai SBY yang mempunyai efek yang sama-sama besar.
Bergabungnya AHY di PD tidak berlaku kepada kader-kader lainnya yang sudah berproses lama untuk menempati posisi-posisi strategis. Setelah gagal dalam Pilgub DKI Jakarta (2016), AHY dikukuhkan sebagai komandan Satuan Tugas Bersama untuk Pemilukada 2018 dan Pemilu 2019. Karirnya semakin melejit setelah kongres di Surabaya 2020. Ia terpilih sebagai Ketua Umum secara aklamasi. Pertanyaannya, apakah posisi itu bisa diraih tanpa dukungan dari SBY?. Banyak pengamat menilai karir AHY diraih dengan intervensi kekuasaan di internal PD yang lebih berdasarkan politik oligarki. Itulah salah satu alasan munculnya diskriminasi, resistensi bahkan konflik.
Dalam perspektif sosiologi-politik (James Scott, 1993), dominasi kekuasaan akan melahirkan resistensi yang dapat dipahami sebagai sebuah respon terhadap suatu inisiatif perubahan. Dominasi ditandai dengan pola hubungan subordinasi (atas-bawah) yang berlangsung lama dan komunikasi satu arah sehingga dialog keterbukaan tidak dapat berkembang dengan baik, eksplisit.
Dilihat dari peta konfliknya, ketidak puasan para kader terhadap dominasi kekuasaan melahirkan resistensi yang awal munculnya dalam bentuk tertutup. Resistensi ini terakumulasi seiring menguatnya dominasi kekuasaan menjadi resistensi terbuka dengan adanya dukungan yang lebih luas.
Kalau tidak ada dominasi kekuasaan, mungkin resistensi itu tidak terjadi. Itu sebagai cerminan bahwa dalam organisasi perkambangannya bersifat dinamis. Pertanyaannya, mengapa kubu SBY-AHY harus menyerang sana-sini termasuk pemerintah kalau persoalannya ada di internal organisasi? Kalau sejak awal kondisi ini disadari, maka yang perlu dilakukan adalah konsensus politik bukan dominasi kekuasaan setelah dua kali pemilu mengalami penurunan suara.
Menurut Jeffrey A. Winters, Politik oligarki hadir dalam bentuk yang bervariasi bahkan di negara demokrasipun. Partai politik yang memunculkan resistensi perlu dipandang sebagai suatu kemajuan karena tidak setiap partai politik akan melakukan itu terlepas dari pertimbangan-pertimbangan subyektif yang diyakini. Akhirnya, konflik ini apakah akan menjadi proses pendewasaan politik atau membuat semakin terpuruk bagi PD? Publik akan menilai proses politik yang sedang dan akan berkembang ke depan. Mari seruput kopinya!
