Setelah Perang Dunia II, praktik politik uang semakin merajalela di berbagai negara, terutama di negara-negara berkembang yang baru saja merdeka. Para politisi yang berkuasa menggunakan uang untuk mempertahankan kekuasaannya atau untuk mendukung kandidat yang dianggap akan menjaga kepentingannya.
Dengan munculnya teknologi digital dan media sosial, politik uang menjadi lebih kompleks. Kampanye online dan iklan politik di media sosial memungkinkan kandidat untuk mencapai pemilih dengan biaya yang relatif rendah dibandingkan dengan iklan tradisional. Namun, hal ini juga membuka pintu bagi praktik politik uang yang lebih rahasia dan sulit dideteksi.
Politik uang memiliki dampak yang merugikan bagi proses demokrasi dan masyarakat secara keseluruhan. Beberapa dampak negatifnya antara lain: pertama, politik uang sering kali berujung pada korupsi di dalam pemerintahan. Para politisi yang terpilih dengan bantuan uang sering kali diharapkan untuk “membalas budi” kepada para penyumbang dengan memberikan keuntungan-keuntungan tertentu, seperti proyek-proyek konstruksi atau kontrak pemerintah.
Kedua, praktik politik uang dapat memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Kandidat yang memiliki akses ke dana kampanye yang besar memiliki keunggulan dibandingkan dengan kandidat yang kurang mampu secara finansial. Hal ini membuat wakil rakyat lebih mewakili kepentingan kelompok kaya daripada kepentingan masyarakat umum.