I. SEPTEMBER HITAM MENGHADAP TRAGEDI
September hitam menghadap tragedi
Denging peluru
lari-lari!
tanah darah
saksi-sanksi!
Bulan bintang kesia-siaan
diperingatinya sebagai ratapan
Lengket sengketa!
centang temali
putar mengurai!
rintang delusi
Rentang kematian mengukur jarak keadilan, kemanusiaan—silang merekap
Melengung dagu di punggung indung
menyatu kalbu berkabung-kabung
Riwayat lawas sealun kelam, melayat mega mengawang-pandang
Sejarah terlalu tragis dan tangis
tanah-tanah masih berisi keruk dan dendam
2023
II. TUAN TANAH
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian yang saya banggakan, kalian bermukim di tanah langsat. Bernyanyi, menari, mengiring seekor sapi. Habis berkebun, meminum racun, hama terhibur, tanah menyembur. Negara sudah terjual; mengobral. Sarang semut di tanah air mengungsi ke pulau natal
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian yang saya muliakan, kami ucapkan selamat telah membeli negara dari bahasa dagang. Kami belajar memperagakan westernisasi ke anak cucu, untuk melenyapkan sebuah budaya asiafilia
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang saya hormati, mengapa tradisionil telah ditinggalkan oleh orang-orang setempat? apakah pribumi yang diberitakan itu, sudah menjadi replika orang-orangan sawah? tetapi bagaimana keadaan tikus di negara kami? apakah dia sudah menjadi tuan tanah di negeri lain?
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang saya hormati
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang saya hormati.
2023
III. MENGECAT USIA
Percikan di hari minggu membabar
ke dasar lengas
Kuas-kais terali patah
mematuk karat
Warna bunyi yang pudar; seperti usia yang usai
dari desir abu, dari kelopak ratu
mendominasi sebuah mendung
celoteh telah memberiku kabar
lewat kibasan kipas dan asap-lesap dibalik hutan
di situ, seekor monyet dan aku mengecat pisang dari terigu dan liur bayi
2023
IV. BOM BUNUH DIRI
Suara ledakan dari telinga polisi, mendengkur ke jantung teroris. Tembakan melesak dada; mengumandangkan undang-undang negara
Kekerasan mengakuri, kekejaman merabuni, jejak orang tak bersalah telah menghadap ke arah jeruji
Hukuman terpotong dari kesepakatan sebenarnya, siapa yang sedang kami hadapi di negara tersebut?
Bom waktu; seperti rentang sejarah sebelumnya, mengambil catatan-catatan lusuh, menggali apriori kumuh
Dirikan seorang aku yang menilai kebenaran, dirikan segamblang aku dari percakapan mata-mata. Dorongkan gambaran ketidakadilan seolah tak bernyawa; selanjutnya! seterusnya!
2023
V. INTERREGNUM
Mampukah koloni semut berpaling walau liang dipagar gula-gula?
Mampukah gerombolan kambing memakan rumput, walau tanah berendeng-rendeng kotoran?
Bangkai-bangkai berjamur kau musnah, rengga-rengka di punggung kau punah, tulang menanggung pun kau ruah, wujud lahad pung; kau curah
Batu-batu berjejer, membentuk gedung
padi-padi merenduk; bertumpuk pajak
beton aspal menambal, menyisir bahaya
manusia topang hidup bertimba uang
Jangankan mengotori, setapak kaki mengekor laba rugi, jangankan menabiri, ingat sedikit pun enggan menaburi.
2023
***Rifqi Septian Dewantara asal Balikpapan, Kalimantan Timur Mei 1998. Karya-karyanya pernah tersebar di beberapa media online dan buku antologi puisi bersama. Kini, bergiat dan berkarya di Halmahera, Maluku Utara. Bisa disapa melalui Facebook: Rifqi Septian Dewantara.