Putusan MK Soal Pemilu Picu Dilema Konstitusional dan Kritik Tajam dari DPR

Madurapers
Martin Daniel Tumbelaka, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, menyampaikan pandangannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI yang digelar pada Jumat, 4 Juli 2025.
Martin Daniel Tumbelaka, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, menyampaikan pandangannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI yang digelar pada Jumat, 4 Juli 2025. (Foto: Mario/vel, via Parlementaria, 2025)

“Putusan MK itu juga gak bisa dibatalkan oleh MK. Kalau dibatalkan oleh MK berarti kredibilitas hakim MK masa lalu gak dijamin. Itu berbahaya juga. Jadi ini luar biasa dalam tataran ketatanegaraan kita,” tegas Patrialis dengan nada prihatin.

Ia menambahkan bahwa jika publik dan parlemen mempertanyakan validitas suatu putusan, maka muncul keraguan besar atas legitimasi hukum yang dikeluarkan lembaga tersebut. “Maka saya berpendapat adalah satu putusan yang memang dipersoalkan oleh masyarakat dan termasuk juga parlemen, berarti ada big question terhadap putusan itu,” lanjutnya.

Dalam pemaparannya, Patrialis menyebut bahwa terdapat tiga putusan MK terkait Pemilu yang dikeluarkan sejak 2013, dan dua di antaranya telah berhasil diterapkan tanpa kontroversi. Ia menilai, kedua putusan sebelumnya bahkan menjadi landasan pemilu yang melahirkan pemimpin-pemimpin nasional.

“Nah, dalam masalah ini ada tiga putusan. Sedangkan dua putusan terdahulu tidak ada masalah. Bahkan itu sudah dilakukan. Dan itu sudah menjadi bagian menghasilkan pemimpin-pemimpin negara ini, baik di eksekutif maupun di legislatif. Kita pakai putusan MK yang masa lalu. Pada 2013 itu saya ikut memutuskan pemilu serentak itu,” pungkasnya.

Valina Singka Subekti menekankan bahwa Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 tidak otomatis membatalkan putusan-putusan sebelumnya. Ia mengingatkan pentingnya presisi dalam menafsirkan dan menempatkan putusan baru dalam kerangka sistem hukum nasional.

Melalui putusan yang diucapkan pada 26 Juni 2025 itu, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilaksanakan secara terpisah dengan jarak waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan. Amar putusan tersebut membatalkan pemaknaan “serentak” dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Putusan ini merupakan tanggapan atas permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem menilai bahwa pelaksanaan pemilu lima kotak secara serentak menimbulkan efek sistemik, termasuk menurunnya kualitas kandidat dan efektifitas sistem demokrasi.