Opini  

Revitalisasi Peran Ibu sebagai Madrasah bagi Anak melalui Sedikit Lebih “Ber-Lasaban”

Umi Hanik
Umi Hanik
Umi Hanik (Dosen Prodi PGSD, FIP, UTM, Bangkalan)

Peran ibu sebagai madrasah bagi anak bukan hal aneh karena telah banyak kisah-kisah ibu yang berjuang mendidik anaknya. Sebut saja kisah Imam Syafi’i, Thomas Alfa Edison, Albert Eistein dan tentu saja masih banyak lagi kisah-kisah perjuangan seorang ibu dalam mendidik anaknya. Namun seiring berjalannya waktu, kerap terjadi perubahan sosial—salah satunya peran ibu. Dengan dalih bermacam-macam, para ibu banyak yang bekerja di luar rumah. Hal ini berdampak pada pengasuhan anak, yang sebagian besar diserahkan pada orang lain. Selain pengasuhan anak yang diserahkan pada orang lain, pendidikan pun (baca: pendidikan dasar) juga demikian. Tidak ada waktu, tidak punya ilmu, tidak sabar, dan lain-lain merupakan dalihnya.

Dengan tingkat vaksinasi saat ini, Indonesia baru bisa menjangkau 75% vaksinasi populasi dengan 2 dosis vaksin—sehingga diprediksi pandemi akan berakhir 10 tahun lagi (Blomberg, 2021). Lalu, apakah kita akan membiarkan anak-anak kita terjerembab dalam kondisi seperti sekarang terus menerus? Tentu tidak bukan. Kita sebagai orang tua khususnya ibu hanya perlu sedikit lebih “Ber-Lasaban” yaitu sedikit lebih “Belajar, Bersabar, dan Berkorban”.

Sedikit Lebih Belajar. Bukan hanya aplikasi di handphone (HP) saja yang perlu di update, seorang ibu juga perlu update ilmu dan wawasan. Arti kata update adalah memperbaharui—yang dapat diartikan memperbaharui sesuatu yang lama menjadi baru. Menilik arti kata update, para ibu hanya sedikit lebih belajar karena para ibu telah memiliki modal awal ilmu dan wawasan yang telah diperoleh dari pendidikan informal, formal maupun non-formal. Tidak ada salahnya jika para ibu belajar bagaimana cara mengajarkan membaca permulaan, teknik berhitung, dan yang lainnya. Hal ini dilakukan oleh ibu Imam Syafi’i sebelum mengirimnya ke guru untuk belajar.

Sedikit Lebih Bersabar. Butuh bergunung-gunung dan samudera kesabaran dalam mendidik anak. Tuntutan pekerjaan—pekerjaan rumah tangga ataupun bukan (baca:pekerjaan untuk tuntutan karier), yang hadir secara bersamaan dengan ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap anak menjadi salah satu pemicu ketidaksabaran dalam mendidik anak.  Selalu ingat bahwa Allah S.W.T., menciptakan manusia berikut takdir-Nya, setiap anak pastinya memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Semoga Allah S.W.T., senantiasa menyuburkan sabar kita seperti sabarnya Nabi Ayyub a.s., atau mungkin seperti sabarnya Ibu Thomas Alfa Edison dalam mengajari berbicara Tommy (panggilan untuk Thomas Alfa Edison)—yang usia 4 tahun baru dapat mulai berbicara.

Sedikit Lebih Berkorban. Kita pasti setuju jika para ibu dijuluki “malaikat tanpa sayap” lantaran pengorbanannya untuk keluarga. Lalu mengapa diminta sedikit lebih berkorban lagi? Konteksnya disini adalah ‘memilah’ kegiatan-kegiatan—berfaedahkah atau tidak? Jika kegiatan tersebut kurang berfaedah bisa kita ganti kegiatan yang lebih berfaedah.  Jika semua berfaedah maka ‘formula’ berikutnya adalah menerapkan skala prioritas.

Jadi, tunggu apa lagi? Terapkan Sedikit Lebih “Ber-Lasaban” untuk kembalinya diri anda menjadi madrasah bagi anak.