Opini  

Revolusi Industri 4.0, Generasi Milenial, dan Penelitian Sosial

Avatar
Mohammad Fauzi, Penasehat Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD).
Mohammad Fauzi, Penasehat Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD).

Standar kompetensi penelitian adalah standar kemampuan yang disyaratkan untuk dapat melakukan kegiatan penelitian, pengembangan, dan pengkajian yang menyangkut aspek pengetahuan, keahlian, dan perilaku yang relevan dengan tugas dan syarat sebagai peneliti.

Standar kompetensi peneliti yang dibutuhkan generasi langgas untuk menjadi peneliti menurut regulasi LIPI Tahun 2009 adalah: (1) pengetahuan, (2) kecakapan, dan (3) sikap.

Kompetensi pengetahuan meliputi kemampuan teknik: (1) penelusuran kepustakaan, (2) pengumpulan dan pengolahan data, (3) penulisan karya ilmiah (peneliti pertama), (4) presentasi, (5) memimpin kelompok penelitian (peneliti muda), (6) perencanaan penelitian, (7) pengajaran dan pembimbingan (peneliti madya), dan (8) penulisan buku (peneliti utama).

Kompetensi kecakapan meliputi kemampuan: (1) berkomunikasi dengan baik, (2) mengoperasikan alat penunjang penelitian, (3) mengolah dan menganalisis data, (4) menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar (peneliti pertama), (5) menulis abstrak dalam bahasa Inggris yang baik dan benar, (6) mengoperasikan alat bantu presentasi dan paraga (peneliti muda), (7) memotivasi diri dan orang lain (peneliti madya), dan (8) menulis dalam bahasa Inggris dengan baik dan benar (peneliti utama).

Kompetensi sikap meliputi: (1) jujur, (2) bertanggung jawab, (3) disiplin, (4) bisa bekerja sama (peneliti pertama), (5) kritis, (6) kreatif (peneliti muda), (7) motivatif, (8) inovatif (peneliti madya), (9) pengendalian diri, dan (10) adaptif (peneliti utama) (Perka LIPI No. 4/E/Tahun 2009).

Standar kompetensi peneliti ini dalam regulasi LIPI Tahun 2018 adalah penguasaan dasar keilmuan sesuai bidang kepakaran melalui tahapan: (1) mengidentifikasi masalah, (2) melakukan penelusuran informasi ilmiah untuk mencari alternatif solusi atas masalah, (3) mencari solusi atas masalah, (4) menganalisis hasil, dan (5) menyampaikan hasil yang menjadi topik kegiatan pada tingkat dasar/pemula/menengah/tingkat lanjut.

Bidang kepakaran yang dimaksud adalah ruang lingkup keahlian, keterampilan, sikap, dan tindak peneliti yang mencerminkan tugas, fungsi, kewajiban, hak, tanggung jawab, dan kompetensinya (PerLIPI No. 14 Tahun 2018).

Selain kompetensi tersebut, generasi langgas untuk menjadi peneliti juga harus memiliki kapasitas keterampilan penelitian. Keterampilan ini, mengutip pendapatnya J. K. Boyce dan R. E. Evenson (1975), adalah keterampilan inventif, teknis-engenering, teknis-ilmiah, dan ilmiah-konseptual.

Keterampilan inventif adalah keterampilan menemukan sesuatu berdasarkan pengalaman. Keterampilan teknis-engenering adalah keterampilan yang diperoleh dari hasil terapan dari textbook untuk memecahkan masalah. Keterampilan teknis-ilmiah adalah keterampilan menguasai teknik dan kemampuan ilmiah sebagai latar belakang untuk mengadakan analisis. Keterampilan ilmiah-konseptual adalah keterampilan ilmiah dan konseptual yang diperoleh dari pengalaman penelitian (Zain, 2014).

Sedangkan inovasi sosial adalah praktek, model, pelayanan, produk baru untuk menangani tantangan kebutuhan sosial yang kompleks (Morrar et al., 2017). Produk baru tersebut juga bisa berupa prinsip, gagasan, regulasi, gerakan sosial, dan intervensi baru untuk mengatasi tantangan sosial (social challenge) (Wibowo, 2006), yang muncul sebagai akibat dari perubahan fundamental pelbagai kehidupan manusia karena revolusi industri 4.0.

Inovasi ini dapat memberikan pengaruh positif pada individu, masyarakat, dan organisasi (Morrar et al., 2017). Inovasi ini tercipta dari hasil pelaksanaan aktivitas penelitian pengembangan/R&D (DRN, 2018).

Kompetensi/keahlian yang diperlukan generasi langgas untuk melakukan inovasi sosial adalah: (1) kecerdasan kognitif, seperti kompetensi teoritis, penelitian, dan penggunaan alat teknologi komunikasi digital penunjang penelitian dan inovasi sosial, (2) kecerdasan sosial, seperti kepercayaan diri membuat transformasi inovatif, mampu bekerja kelompok dan jaringan untuk menghasilkan kerja optimal, dan berempati dalam melakukan hubungan sosial, dan (3) kecerdasan religius, seperti komitmen pada nilai (norma agama, sosial, dan hukum) yang berlaku di masyarakat.

Kompetensi/keahlian ini dapat diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman melalui pembelajaran sosial di lingkungan pendidikan dan masyarakat (Wibowo, 2006).

 Profesi Peneliti di Era Revolusi Industri 4.0

 Di era revolusi industri 4.0 generasi langgas memilih profesi sebagai peneliti pasca pendidikan perguruan tinggi adalah pilihan yang sangat strategis. Hal ini karena, pertama, revolusi industri 4.0 membawa dampak integrasi manusia dan mesin serta perubahan fundamendal (disrupsi) pada kehidupan sosial masyarakat (Prasetyo dan Trisyanti, 2019) sehingga dibutuhkan penelitian pengembangan/R&D yang berorientasi pada penemuan potensi masalah dan prediksi penanganannya di masa depan (Kemenristekdikti, 2019b).

Kedua, era revolusi industri 4.0 mendorong pemerintah (nasional dan daerah), perusahaan (negara dan swasta), dan PTN/PTS untuk terus melakukan inovasi teknologi dan sosial untuk meningkatkan daya saing yang berpengaruh positif pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan pembangunan negara Indonesia (DRN, 2018). Temuan inovasi ini diperoleh melalui penelitian pengembangan/R&D (DRN, 2018).

Ketiga, di era revolusi industri 4.0 jumlah peneliti pada angkatan kerja proporsinya di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Proporsi 1 juta orang per angkatan kerja hanya mampu dicapai Indonesia sebesar 0,04 (360 orang) tahun 2009.

Pada tahun tersebut, SDM IPTEK pemerintah yang melakukan R&D hanya 70.431 orang peneliti dengan komposisi 58,11% (40.930 orang) peneliti dan sisanya 41,89% (29.501 orang) adalah teknisi dan staf pendukung.

Di PTN/PTS ada 22.102 orang peneliti yang melakukan penelitian R&D, tetapi penelitiannya berorientasi akademis dan mayoritas tidak terkoneksi dengan stakeholders penelitian lain (enterpreneurs dan profesional), pemerintah, pelaku industri, dan pemecahan masalah sosial di masyarakat.

Di perusahaan industri swasta ada 7.777 orang peneliti R&D, tetapi produktivitasnya belum mampu melayani kebutuhan industri pada inovasi (DRN, 2018).

Dukungan struktural, kebijakan, dan skim pendanaan R&D yang memadai—paling tidak pada masa mendatang—dari pemerintah dan perusahaan industri sangat dibutuhkan agar jumlah angkatan kerja peneliti secara proporsional meningkat dan produktif melakukan aktivitas R&D untuk tujuan menemukan inovasi teknologi dan sosial baru.

Inovasi ini dibutuhkan untuk: (1) peningkatan daya saing inovasi negara Indonesia dan perusahaan industri, dimana daya saing inovasi ini akan memediasi terjadinya transformasi sosial-ekonomi yang selanjutnya berdampak positif pada pencapaian pembangunan nasional (DRN, 2018), dan (2) mengantisipasi dan mengendalikan perubahan radikal yang berpotensi dapat merubah fundamental struktur sosial masyarakat (Prasetyo dan Trisyanti, 2019).

Berkaitan dengan hal tersebut, kesiapan kompetensi dan keahlian penelitian dan inovasi sosial generasi langgas untuk menjadi peneliti adalah mutlak diperlukan. Kompetensi dan keahlian pada bidang tersebut perlu dibentuk, paling tidak pada kompetensi peneliti pemula (Perka LIPI No. 4/E/Tahun 2009), keterampilan teknis-engenering (Zain, 2014), dan kecerdasan kognitif, sosial, dan religius (Wibowo, 2006).

Medianya melalui pembelajaran penelitian textbook di PTN/PTS, pembelajaran bidang ilmu lain (khususnya bidang ilmu kewirausahaan sosial) yang mengintegrasikan pendidikan inovasi di PTN/PTS, dan pembelajaran sosial yang memberikan pengalaman dalam penelitian dan inovasi sosial baik di PTN/PTS maupun di luar PTN/PTS (Wibowo, 2006).

Upaya tersebut harus didukung secara struktural, kebijakan, dan skim pendanaan yang cukup oleh pemerintah dan pihak swasta (Badan Litbang, PTN/PTS, dan perusahaan industri produk/jasa/pemasaran) sebagai aktor utama peningkatan inovasi teknologi dan sosial di negara Indonesia (DRN, 2018).

 

Mohammad Fauzi, Penasehat Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD).