Rokok Ilegal Menggurita di Jatim, Solusinya Harus Menyentuh Hulu

Madurapers
Ahmad Wahyudin, dosen UNT Al-Muafa Sampang. Ia juga adalah kandidat Doktor Ilmu Manajemen di Universitas Negeri Malang (UM).
Ahmad Wahyudin, dosen UNT Al-Muafa Sampang. Ia juga adalah kandidat Doktor Ilmu Manajemen di Universitas Negeri Malang (UM). (Foto: Madurapers, 2025)

Sampang – Penindakan terhadap rokok ilegal makin masif di Jawa Timur (Jatim), namun akar masalahnya justru belum disentuh secara serius. Bukti ini terlihat dari temuan 981 bungkus rokok tanpa pita cukai oleh Satpol PP Surabaya dan Bea Cukai Sidoarjo pada Sabtu, 5 Juli 2025.

Data penindakan di provinsi ini tahun sebelumnya juga memprihatinkan, dengan total 176,79 juta batang rokok ilegal dimusnahkan Bea Cukai Jatim sepanjang 2024. Angka itu menunjukkan bahwa aktivitas ilegal ini bukan sekadar pelanggaran kecil, melainkan praktik ekonomi gelap yang sistematis.

Di Madura, persoalan ini bahkan sudah merajalela sejak beberapa tahun lalu. Dalam kurun 1–21 Januari 2025 saja, Bea Cukai Madura menyita lebih dari 5 juta batang rokok dan ratusan liter minuman ilegal senilai lebih dari Rp7,5 miliar.

Ahmad Wahyudin, dosen Universitas Nazhatut Thullab (UNT) Al-Muafa Sampang, menegaskan bahwa penindakan hanya menyasar gejala, bukan akar persoalan. “Jika pemerintah hanya fokus pada penyitaan, maka kita sedang mengobati kanker dengan plester luka,” ujarnya kritis.

Menurut Wahyudin, kandidat Doktor Ilmu Manajemen Universitas Negeri Malang (UM), penyebab utama peredaran rokok ilegal adalah ketimpangan ekonomi dan lemahnya pemberdayaan produsen lokal kecil. Ia menilai bahwa banyak pelaku produksi rokok ilegal sebenarnya adalah usaha mikro yang tidak sanggup memenuhi biaya cukai resmi.

“Pemerintah seharusnya membuka ruang legalisasi terbatas dengan mekanisme cukai UMKM, bukan langsung menutup akses mereka dengan tarif tak terjangkau kantong mereka,” tegas Wahyudin, menyoroti kebijakan yang disebutnya ‘memukul nyamuk dengan palu godam’. Ia menilai kebijakan minim afirmasi (perlakuan khusus, red.) pada UMKM potensial gagal mengembangkan skema adaptif untuk pelaku ekonomi kecil.